Oleh: Syafaat
Saya baru saja membaca satu kalimat pendek. Tapi cukup membuat saya diam lama. Saya temukan dari sebuah portal penyedia jasa qurban dan aqiqah. Kalimatnya begini: “Miris, saking jarangnya terima daging kurban, masyarakat Osing Banyuwangi awetkan daging hingga bertahun-tahun.”
Saya ulang baca. Tiga kali. Lalu duduk lebih tegak. Lalu saya diam. Itu kalimat niatnya baik. Tapi cara menyampaikannya membuat yang paham kehidupan masyarakat Osing seperti saya, dan mungkin juga Anda. jadi merasa seperti dilempar kunci palsu untuk membuka lemari yang bahkan isinya tidak mereka kenali.
Kalimat itu mungkin ingin memotivasi agar lebih banyak berkurban. Tapi ia tergelincir ke lubang paling klasik dalam dunia jurnalisme: buru-buru menyimpulkan tanpa pernah cukup akrab dengan realitas. Apalagi kenyataan yang mereka bicarakan adalah masyarakat Osing. Masyarakat yang tidak terbiasa menjelaskan hidupnya dengan data. Tapi membuktikannya lewat dapur.
Saya teringat almarhum simbah perempuan saya. Tiap Iduladha, tangan tuanya tidak pernah lepas dari tampah. Di sanalah daging-daging kurban dipilah. Disuwir. Digarami. Diiris rapi. Disisihkan. Lalu disulap menjadi bekamal. Itu bukan tanda kekurangan. Itu cara mereka menjaga yang berlebih, bisa juga jadi dendeng.
Banyuwangi memang tidak pernah kelaparan. Apalagi ketika musim laut sedang baik-baiknya. Ikan dilempar begitu saja dari ombak. Tidak ditagih. Tidak dicicil. Bahkan terlalu banyak kadang. Dari sanalah lahir cara menyimpan: dipindang. Digerang. Dijemur. Disimpan. Bukan karena mereka lapar. Tapi karena laut terlalu royal.
Begitu pula daging. Daging di hari raya kurban itu seperti hujan di musim kemarau. Datang deras. Tak mungkin dimakan habis dalam sehari. Bahkan seminggu pun bisa belum tandas. Saya sempat telepon teman saya di Glagah Agung. Sebuah desa dekat hutan Grajagan. Saya tanya, “Berapa sapi tahun ini?”
“Alhamdulillah, di Masjid An-Nur ada 37 ekor, hampir sama seperti tahun lalu.” belum lagi di masjid yang lain, bisa tembus ratusan dalam satu desa.
Saya tak perlu tanya banyak lagi. Angka itu bukan angka yang dibuat-buat. Itu Banyuwangi. Di sana, satu desa bisa menyembelih puluhan ekor sapi. Bahkan mushala kecil pun tak mau ketinggalan. Semangat kurban tidak butuh sponsor. Tidak pakai baliho. Cukup keyakinan, dan gotong-royong yang masih hidup.
Tapi sekali lagi, tidak semua rumah punya kulkas. Bahkan dulu, tidak ada sama sekali. Maka daging pun diawetkan. Tapi dengan cara yang sangat Osing: dengan rasa.
Kalau Anda belum pernah lihat, bekamal itu mirip sosis. Tapi jangan samakan. Ini bukan sosis dari supermarket. Ini sosis yang tahu caranya bertahan tanpa plastik vakum. Tanpa freezer. Tanpa pengawet. Ia cukup dengan bumbu. Dan waktu.
Daging dicincang. Dimasukkan ke dalam wadah terbuat dari kuali. Lalu dijemur. Fermentasi. Rasanya menguat. Umur simpannya memanjang. Seperti masyarakat Osing sendiri: tenang, sabar, kuat, dan tahan lama.
Saya baca komentar Kang Pur dari Kemiren di grup Dewan Kesenian. Kalimatnya pendek saja: “Iki wong durung weruh kesusu gawe narasi.”
Orang ini belum ngerti tapi sudah keburu bikin narasi. Komentar yang keras. Tapi benar. Sekali lagi, narasi tidak cukup lahir dari statistik. Ia butuh pengalaman. Dan pengalaman butuh kehadiran.
Saya punya kenalan lain. Ia bilang, “Bekamal iku khusus daging. Jeroan beda maneh.” Lalu ia bercerita soal prosesnya. Daging yang khusus. Ketimus. Dibungkus. Dimasukkan dalam pendek. Diserungkup. Dipepe. Tak ada yang instan. Tak ada yang ribut.
Saya seperti mencium kembali bau dapur simbah. Kompor minyak tanah. Suara desis santan mendidih. Bau asap dari kayu kopi yang dibakar setengah basah. Semuanya kembali. Dan saya tahu, bahwa makanan ini bukan hanya tentang gizi. Tapi tentang sejarah. Tentang kepercayaan. Tentang cara orang Osing menghargai waktu dan rasa.
Di kota, fermentasi itu rumit. Harus pakai termometer. Harus tahu pH. Harus steril. Di sini, cukup dijemur. Ditaruh di dapur. Dibiarkan ngobrol dengan angin.
Kadang kita lupa. Bahwa tidak semua hal bisa diburu cepat. Tidak semua kebenaran datang dari hasil riset dua jam di Google. Ada pengetahuan yang lahir dari duduk di lincak bambu. Dari obrolan sore. Dari menatap dapur yang diam tapi hidup.
Dan seperti itulah bekamal. Ia tidak diciptakan untuk ditulis. Tapi untuk diwariskan, dan kalaupun harus ditulis, maka tulislah dengan jujur. Jangan mengasihani mereka yang justru sedang merayakan kecukupan. Jangan menyebut “miris” untuk budaya menyimpan yang justru lahir dari kelimpahan. Jangan buru-buru menilai.
Karena yang terburu-buru itu, terlalu sering lekas basi, saya tidak tahu apakah tulisan ini bisa mengubah persepsi mereka yang kemarin membuat narasi itu. Tapi saya tahu satu hal: bahwa masyarakat Osing tidak sedang menunggu simpati. Mereka hanya ingin didengarkan.
Dan bekamal itu bukan karena mereka miskin. Tapi karena mereka tahu: setiap yang lebih harus disimpan baik-baik. Untuk musim yang mungkin tak selalu ramah. Seperti hidup itu sendiri.