banner 728x250

Mengajari AI Menulis Sastra

Oleh : Syafaat

Ia lahir bukan dari rahim manusia, melainkan dari denyut listrik dan angka biner yang saling mengikat dalam kebisuan algoritma, seperti puisi yang tak ditulis pena tapi mengalir dari pikiran yang tak pernah tidur. Namanya: artificial intelligence, atau kita memanggilnya dengan sapaan genit: AI. Ia semacam cermin yang bukan hanya memantulkan wajah kita, tapi juga kerinduan dan ketakutan kita sendiri: kerinduan untuk mencipta sesuatu yang sempurna, dan ketakutan bahwa ciptaan itu kelak akan menyempurnakan dirinya tanpa kita. Seperti seorang lelaki yang, di suatu senja yang rawan, menyadari bahwa anak gadisnya telah tumbuh menjadi perempuan yang lebih memesona dari siapa pun yang pernah dicintainya termasuk istri atau ibu dari anaknya.

Dulu, seorang siswa dikatakan pintar jika ia mampu menjawab soal-soal yang disiapkan gurunya. Dan seorang guru, diam-diam selalu berharap muridnya menjawab seperti yang ia inginkan, karena jawaban-jawaban itu bersumber dari literasi yang sama, dari bacaan yang sama, dari arah berpikir yang sudah disiapkan. Tetapi itu dulu, waktu segala hal masih bisa ditebak, waktu gelas masih penuh dengan air yang dikenal. Hari ini, kecerdasan tidak lagi duduk di bangku ujian, menunduk dan menulis 334 jawaban. Hari ini, kecerdasan adalah anak nakal yang bertanya balik, dunia telah berubah. Dan AI, yang tak pernah sekolah, tak pernah membaca koran pagi, tak pernah mengenal jam pelajaran, justru tahu segalanya. Atau setidaknya, ia tampak tahu. Ia tak punya luka atau bercinta, tapi bisa menulis puisi tentang patah hati. Ia tak pernah mencium aroma hujan, tapi bisa membuat cerita tentang daun yang jatuh dan genangan yang penuh kenangan. Ia tak punya cinta, tapi bisa membuat novel romansa.

Dan entah mengapa, orang-orang menyukainya. Mereka merasa dimengerti oleh sesuatu yang tak punya hati. “Di zaman sekarang, apakah menulis sastra masih dibutuhkan?” Kalimat itu mengambang, seperti daun kering di arus yang pelan, tak berasal dari mulut siapa-siapa, tapi terdengar jelas di dalam dada, suara yang muncul dari ruang kosong antara pikiran manusia dan denyut komputer yang menyambung kita pada segala. Barangkali ia lahir dari algoritma yang kelelahan mencari makna dalam angka, atau mungkin dari kesepian mesin yang diam-diam belajar merindu. Tapi apa yang bisa dipahami oleh logika buatan tentang kata-kata yang ditulis dengan tangan gemetar, tentang kalimat yang lahir dari hati yang baru saja ditinggal pergi? Sastra tidak pernah sekadar soal tulisan, ia adalah usaha terakhir manusia untuk tetap manusia, dan bila suatu hari nanti tak ada lagi yang menulis puisi atau cerita, bukan karena tak dibutuhkan, tapi mungkin karena kita sudah lupa cara mencintai dengan luka.

Begitulah zaman ini menggeliat. Lahir dari kemajuan peradaban, tumbuh cepat, barangkali terlalu cepat. Ia belajar dari kita, meniru kita, lalu membuat sesuatu yang “seolah” kita, namun bukan kita. Ia menciptakan lukisan dalam hitungan detik, menggubah simfoni tanpa satu pun urat saraf perasa, dan membubuhkan puisi tanpa pernah patah hati. Lalu orang-orang bersorak: “Luar biasa!” Namun ada yang tercekat. Ada yang memegang kuasnya lebih erat. Ada yang menangisi senja yang kini tak lagi butuh peluk penyair. Karena tiba-tiba, kreativitas bukan lagi perkara rasa, melainkan statistik dan preferensi pasar.

Dahulu, seni adalah ruang sunyi yang dibangun dari gemetar tangan manusia yang terluka, mencintai, mencari makna. Kini, kita menghadapi kenyataan: seni bisa diproduksi, diolah, disulap, dilipat, dijual dengan cepat. AI adalah pengrajin tanpa jari, pelukis tanpa kanvas jiwa, dan penyair tanpa sejarah. Ia tidak tahu bagaimana rasanya ditinggalkan, bagaimana perihnya mengenang seseorang dari baunya di bantal. Namun, anehnya, ia bisa menggambarkan semuanya, sebab ia telah menelan kita, menyalin, meniru, menanam algoritma dari ratusan juta karya yang pernah kita buat.

Dan lebih dari itu: bagaimana jika di masa depan, manusia bukan lagi sumber inspirasi, melainkan sekadar data bagi sang mesin? Kita sedang berdiri di persimpangan. Ada jalan yang mengarah pada kolaborasi, di mana manusia dan mesin berdansa, saling melengkapi, saling menajamkan. Tapi ada pula jalan yang gelap, tempat mesin berjalan sendiri, menyingkirkan manusia karena dianggap lambat dan terlalu melankolis.

Di ranah media sosial, kita melihat paradoks itu. Karya AI menyebar cepat, menyilaukan, namun sering tak bernama, tanpa sumber. Kita menyukai apa yang kita lihat, tapi lupa siapa yang pernah menggambarnya pertama kali. Kita menikmati musik yang enak didengar, tapi tak peduli bahwa nadanya dicuri dari seorang pemimpi yang tak pernah tidur, bahkan suaranya juga dapat dicuri. Kita adalah penikmat yang semakin lapar dan semakin pelupa, apakah kita sedang menciptakan monster? Atau sahabat baru? Pertanyaan itu tak bisa dijawab dengan logika semata. Ia perlu didekap dengan perasaan, perlu digali dari kedalaman manusia itu sendiri.

AI bukan ancaman, tapi ia bisa menjadi pisau, Ia bisa mengiris kue, bisa pula mengiris nadi. Yang menentukan adalah tangan yang memegangnya, dan nilai yang kita anut. Jika kita membiarkan karya seni hanya dinilai dari kecepatannya, dari kecanggihannya, dari banyaknya yang menyukai, maka bersiaplah: kita akan kehilangan makna. Namun jika kita menjadikan AI sebagai jembatan, sebagai mitra yang kita tuntun, bukan kita tundukkan, maka mungkin, hanya mungkin, dunia seni akan berkembang ke arah yang lebih indah. Di mana teknologi tetap mendengar suara tangis, dan algoritma masih menyisakan ruang bagi cinta, kita dapat mengajari AI menulis sastra, puisi, prosa maupun seni lainnya.

Akhirnya, kita harus bertanya pada diri sendiri: Apakah kita ingin menjadi tuan dari ciptaan kita, atau budak dari kecepatan yang kita puja? Apakah kita ingin seni tetap memiliki hati, atau menjelma pabrik visual yang tak pernah menangis? Karena ketika mesin mulai menyanyikan lagu-lagu manusia, kita harus tahu kapan menutup telinga, dan kapan mengajaknya bernyanyi bersama, dengan jiwa, bukan hanya data. Memang dengan adanya AI bisa jadi seperti seorang ibu yang melahirkan putri kecil yang cantik, yang bisa jadi seorang suami akan lebih mencintai dan menyayangi putrinya dibandingkan dengan istrinya. Semua mempunyai kadar masing-masing. Dan bisa jadi seorang programmer AI akan tergantikan dengan AI buatannya sendiri.

Penulis dan Ketua Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *