Saya terkejut. Tapi juga merasa seperti mengenali wajahnya. Bukan karena saya penggemar kontes kecantikan. Bukan pula karena saya mengikuti audisi Putri Indonesia dari awal. Tapi wajah itu seperti membawa saya kembali ke tahun-tahun yang tak pernah saya catat, tapi tak bisa saya lupakan.
Firsta Yufi Amarta Putri. Sarjana Psikologi dari Universitas Brawijaya. Lahir 23 Januari 2001. Terpilih sebagai Putri Indonesia 2025. Wakil dari Jawa Timur. Tapi bagi saya, dia lebih dari sekadar wakil provinsi. Dia adalah wajah kenangan. Wajah masa lalu saya yang tiba-tiba berdiri tegak menyongsong masa depan.
Saya baru sadar kenapa senyumnya terasa begitu familiar. Senyum manis tapi tenang. Rambutnya ikal. Matanya teduh. Pantas saja terasa akrab. Ternyata dia anaknya Fitri.
Ah, Fitri…
Nama itu seperti membuka pintu ruang dalam di kepala saya. Tahun 1995. Tahun pertama saya menjejakkan kaki di kampus sore hari. *Fitriana Okta Purwanti* adalah orang pertama yang saya kenal. Bukan dosen. Bukan staf TU. Tapi seorang mahasiswa biasa. Perempuan sederhana. Tapi entah kenapa, justru itu yang membuatnya begitu luar biasa.
Saya ingat betul pertemuan pertama kami. Fitri datang ke kampus dengan motor tua. Yamaha 79. Suara mesinnya kadang lebih keras dari suara hati. Dan betul saja, sore itu motornya mogok. Atau lebih tepatnya: tidak bisa dimatikan. Ia panik. Saya, dengan sok tahunya khas mahasiswa baru, mencabut kabel businya. Motornya langsung mati. Fitri tertawa. “Lho Mas, kok gitu caranya?” katanya. Saya hanya nyengir. Tapi sejak saat itu, kami jadi sering bertemu.
Fitri saat itu bekerja di Bosowa Kalipuro. Dari pabrik langsung ke kampus. Bajunya selalu rapi, khas karyawan administrasi. Lipstik tipis di bibirnya. Tidak menor. Tidak pernah berlebihan. Tapi justru itu yang membuat auranya memancar. Ia tidak pernah mencoba menjadi siapa-siapa. Ia hanya menjadi dirinya sendiri. Dan itu cukup untuk membuat banyak orang mengingatnya.
Saya pernah beberapa kali ke rumahnya, di selatan Masjid Sobo. Rumah itu sekarang tampaknya masih seperti dulu. Saya masih sering melintasi jalan itu. Dari kantor menuju MAN 1 Banyuwangi. Setiap lewat, saya selalu mengingat Fitri. Senyumnya yang ramah. Caranya berbicara. Bahkan pesta pernikahannya dengan *Herry Yulistianto* di gedung depan RSUD Blambangan masih terbayang.
Mereka menikah sederhana. Tapi berkesan. Dan anak pertamanya adalah perempuan. Firsta. Yang kini menjadi Putri Indonesia. Anak kedua mereka laki-laki. Tapi yang luar biasa dari Firsta bukan hanya karena gelarnya. Bukan karena mahkota di kepalanya. Tapi karena ia membawa nilai-nilai ibunya. Keteguhan. Kerja keras. Ketulusan.
Saya membaca pernyataan Bupati Banyuwangi, yang mengucapkan selamat dengan hangat. “Alhamdulillah dengan penampilannya yang elegan dan cerdas berhasil menjadi yang terbaik. Semoga ke depan kiprahnya semakin cemerlang dan membawa kebaikan serta nama harum Indonesia, khususnya Banyuwangi.” Saya tersenyum. Karena saya tahu, elegan dan cerdas saja tidak cukup. Firsta membawa warisan ibunya. Warisan yang tidak bisa diajarkan di bangku kuliah. Hanya bisa diteladani.
Kadang saya berpikir, apakah darah seorang ibu bisa begitu kuat mengalir sampai ke kepribadian anaknya? Atau apakah kenangan kita yang terlalu sentimental?
Ya memang ibu merupakan madrasah pertama bagi anak-anaknya, dan saa yakin keberhasilan Firsta merupakan buah perjuangan pendidikan dari almarhumah ibunya.
Melihat Firsta berdiri di panggung nasional, saya tahu ini bukan sekadar nostalgia. Ini kenyataan. Indah. Nyata. Bahwa apa yang ditanam dengan cinta, akan tumbuh dengan cinta pula.
Firsta bukan muncul begitu saja. Ia memulai langkahnya sebagai Jebeng Banyuwangi 2019. Lalu terus melangkah ke ajang Raki Jawa Timur 2025. Tidak instan. Tidak tiba-tiba. Tapi bertahap. Bertumbuh. Dan kini, ia menapaki panggung tertinggi kontes kecantikan di negeri ini. Bukan hanya dengan gaun malam. Tapi dengan hati yang ditempa oleh perjalanan panjang seorang ibu.
Saya tak tahu apakah Fitri dulu pernah membayangkan anaknya akan berdiri di sana. Tapi saya yakin, jika ia masih hidup, ia tidak akan terkejut. Karena ia tahu, ia telah membesarkan anaknya dengan baik.
Saya hanya seseorang yang pernah membantu mematikan motor Fitri dengan cara tak lazim. Tapi saya merasa ikut bangga. Entah karena kenangan itu, atau karena senyum yang kini kembali hadir, dalam wajah seorang Putri Indonesia.
Wajah itu bukan wajah asing. Wajah itu adalah wajah masa lalu saya, yang kini berdiri membawa nama Banyuwangi di panggung nasional. Membawa harapan dan cinta yang dulu tumbuh di bawah langit Sobo. Di antara suara motor tua dan langkah kaki yang tak pernah menuntut sorotan.
Firsta, bukan hanya membawa mahkota. Ia membawa cerita. Cerita tentang seorang ibu yang bekerja, kuliah, dan tetap menebar kebaikan. Cerita tentang seorang anak yang tumbuh dari cinta yang tak pernah diumbar tapi selalu ada.
Banyuwangi tidak hanya mengirim bunga terbaiknya ke Jakarta. Tapi juga mengirim senyum yang tak pernah hilang. Senyum Fitri yang kini hidup di wajah anaknya. Dan saya, seperti kembali ke tahun 1995, mencabut kabel busi yang sama — bukan untuk mematikan, tapi untuk menyalakan kembali ingatan.
Dan ingatan itu, kini berdiri di depan panggung megah, menyebut nama Banyuwangi, membawa harapan Indonesia.
Saya menutup mata sejenak. Membayangkan Fitri duduk di antara penonton. Senyum tipis di bibirnya. Lalu menatap saya dan berkata, “Lho Mas, kok gitu caranya?”
Syafaat, Banyuwangi, 04-05-2025