Kasus korupsi yang menyeret mantan kepala desa di Kabupaten Banyuwangi, termasuk yang terbaru melibatkan mantan Ketua ASKAB (Asosiasi Kepala Desa Kabupaten Banyuwangi) menjadi ironi dari otonomi desa yang seharusnya bertujukan untuk meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan rakyat. Ketika pemimpin desa yang seharusnya menjadi teladan justru menjadi pelaku kejahatan anggaran hingga mencapai milyaran rupiah, tentu tinbul pertanyaan mendasar: di mana fungsi pengawasan dan siapa yang harus bertanggung jawab?
Padahal, dalam desain tata kelola pemerintahan desa, fungsi pengawasan telah diatur dengan jelas. Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Inspektorat Daerah, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD), hingga aparat penegak hukum memiliki peran masing-masing dalam memastikan anggaran desa digunakan secara tepat dan transparan. Bahkan masyarakat pun diberi ruang untuk berpartisipasi aktif dalam pengawasan.
Namun realitas menunjukkan, sistem pengawasan yang ada belum berjalan efektif. BPD sering kali tidak memiliki kapasitas teknis yang memadai. Inspektorat daerah minim sumber daya. Sementara DPMD lebih sibuk pada aspek administratif daripada pengawasan yang substansial. Dalam kondisi seperti ini, potensi penyimpangan justru tumbuh subur di tengah lemahnya pengawasan.
Di sisi lain, kehadiran pendamping desa juga patut dievaluasi. Pendamping desa bukan auditor atau penegak hukum, tetapi mereka adalah fasilitator yang strategis. Sayangnya, dalam praktiknya banyak pendamping desa terseret dalam arus pragmatisme, sekadar menjadi perpanjangan tangan administrasi. Peran pendampingan yang mestinya bersifat transformasional, memberdayakan masyarakat, menumbuhkan kader pembangunan, mendorong partisipasi warga, sering kali tereduksi menjadi pelengkap birokrasi semata.
Maka, masalah korupsi di desa tidak bisa hanya dilihat sebagai kesalahan individu oknum kepala desa. Ini adalah kegagalan sistemik, kegagalan koordinasi antar lembaga pengawas, kegagalan membangun kapasitas aparat desa dan pendamping, serta kegagalan memberdayakan masyarakat sebagai pengontrol sosial.
Sudah saatnya kita memperkuat kembali fungsi pengawasan secara menyeluruh. BPD harus dilatih dan dikuatkan kapasitasnya. Inspektorat perlu diberikan wewenang yang lebih luas dan sumber daya yang cukup. DPMD tak cukup hanya membina mereka harus aktif mengevaluasi dan menindak. Pendamping desa harus dikembalikan pada dasar idealismenya sebagai agen pemberdayaan. Dan masyarakat desa, harus terus didorong agar melek anggaran, berani kritis, dan aktif mengawasi.
Tanpa pengawasan yang kokoh, dana desa bukan menjadi jalan keluar dari kemiskinan, melainkan jebakan baru yang menyeret desa ke dalam korupsi yang terstruktur (melibatkan banyak pihak). Dan jika ini dibiarkan, maka bukan hanya uang negara yang hilang, tapi juga harapan rakyat yang dikhianati.
Catatan : Joko Wiyono (Komunitas Pemerhati Banyuwangi)