Satu malam di Karangrejo yang anginnya mengalir pelan, seperti sedang mendengar obrolan manusia. Kami duduk di Rumah Kebangsaan, di pelataran yang tak benar-benar luas, tapi cukup untuk menampung percakapan yang tak biasa.
Seorang teman—aku menyebutnya begitu, karena begitulah kami menyebutnya—membuka pembicaraan dengan kalimat yang tidak kukira:
“Kalau kita belajar ekonomi dari huruf hijaiyah, menurutmu, apa yang akan kita temukan?”
Aku pikir dia sedang bercanda. Tapi ekspresinya serius. Ia sedang mengamati langit. Mungkin sedang membaca bintang. Atau memanggil kembali sesuatu dari masa kecilnya yang jauh.
“Ekonomi dari huruf hijaiyah?” tanyaku, separuh ragu, separuh ingin tahu.
“Ya,” katanya. “Dari bak ke nun. Kita mulai dari titik ke titik. Karena titik selalu jadi awal yang kita remehkan, padahal dari sanalah huruf tercipta. Dan mungkin juga prinsip.”
Aku diam. Seperti huruf sebelum disusun menjadi kata.
Malam itu, kami membicarakan huruf-huruf. Bukan karena kami ingin jadi ustaz atau ahli kaligrafi. Tapi karena kami percaya bahwa aksara adalah akar dari segala pemahaman. Dan karena ekonomi, seringkali, hanya dibicarakan lewat angka. Padahal sebelum angka, manusia mengenal huruf lebih dulu.
Bak adalah huruf yang hanya punya satu titik di bawah. Ia berdiri sendirian, seperti pedagang kaki lima yang baru membuka lapak. Satu meja, satu tikar, satu lampu minyak. Tidak ada apa-apa selain niat. Tapi dari niat itulah semuanya bisa berkembang.
“Bak itu prinsip pertama,” kata Syafaat. “Modal awal adalah niat. Satu titik. Jangan lebih dulu berpikir tentang banyak. Satu saja cukup.”
Aku menyukai cara dia berpikir. Seperti melihat dunia dari bawah daun yang bergoyang pelan, bukan dari atap gedung pencakar langit.
“Lalu setelah bak?” tanyaku.
“Setelah bak, ada ta. Sama bentuknya. Tapi titiknya dua. Naik. Seperti laba yang tumbuh. Usaha yang berkembang.”
“Dan ketika titiknya tiga?”
“Itu tsa. Hati-hati. Karena tidak semua pertambahan adalah kebaikan. Titik tiga bisa berarti perluasan, tapi juga bisa jadi keserakahan. Dan dari situ, kadang kita mulai kehilangan prinsip titik yang pertama.”
Aku diam. Tiba-tiba ingat restoran di sebelah kantor pos, yang dulunya cuma warung tenda. Lalu bangunan. Lalu dua cabang. Lalu mereka mengganti nama. Lalu cita rasa pun berubah.
“Dan huruf-huruf berikutnya?” tanyaku, hampir berbisik.
“Setiap huruf punya ceritanya sendiri,” katanya. “Ada jim, titik di dalam. Artinya substansi. Nilai tambah yang tersembunyi. Seperti usaha kecil yang diam-diam punya loyalitas pelanggan. Bukan karena iklan, tapi karena ketulusan.”
Aku berpikir tentang penjual nasi pecel di depan gang rumah. Tidak punya banner. Tidak pernah diskon. Tapi selalu penuh. Karena sambalnya punya rasa yang tak bisa disalin.
“Lalu ada kho, titiknya di atas. Itu bisa jadi ego, bisa jadi visi. Tergantung kau letakkan di mana pusatnya.”
Aku mulai paham. Huruf-huruf ini seperti perumpamaan bisnis. Seperti jalan sunyi ekonomi rakyat. Bukan yang diajarkan di seminar-seminar berbiaya mahal, tapi yang dipelajari dari teras rumah, dari peluh, dari catatan utang di warung.
“Apa huruf paling sulit?” tanyaku akhirnya.
“Nun,” katanya. “Karena itu penutup. Tapi juga tempat kita kembali.”
“Kenapa?”
“Karena nun itu bulat. Titiknya satu di dalam. Artinya dia sudah selesai mencari ke luar. Dia kembali pada dirinya sendiri. Ekonomi yang telah matang adalah ekonomi yang tahu kapan cukup.”
Aku menunduk. Kata “cukup” seperti suara petir di dalam dada. Betapa sering kita lupa berhenti. Karena dunia mendorong kita untuk terus mengejar, bahkan setelah kantong tak lagi butuh isi.
“Kau tahu kenapa negara ini tidak pernah selesai dengan kemiskinan?” tanya Syafaat.
Aku mengangkat bahu.
“Karena kita membangun ekonomi seperti dal—tanpa titik. Miring ke kanan. Tak seimbang. Kita ingin laju. Tapi tak punya fondasi. Kita bangun infrastruktur, tapi lupa siapa yang akan pakai. Kita buat pasar digital, tapi tak pikirkan siapa yang bisa beli.”
Aku merasa disindir. Tapi dengan cara yang tidak menyakitkan. Seperti guru mengingatkan murid, dengan kasih sayang.
“Dan ketika negara seperti ro—melengkung ke atas, sombong, tanpa titik—kita kehilangan empati. Kita bicara pertumbuhan, tapi tak bicara penderitaan. Kita bicara angka, tapi lupa manusia.”
Malam semakin dingin. Tapi percakapan itu membakar dari dalam. Seperti api kecil yang tak terlihat, tapi bisa menghanguskan tumpukan kayu.
“Jadi prinsip ekonomi itu sebenarnya bukan soal supply dan demand?” tanyaku.
“Bukan. Itu hanya alat. Prinsip ekonomi sejati adalah soal titik: niat, cukup, dan kembali.”
“Lalu kenapa orang-orang tidak diajari ini sejak awal?”
“Karena terlalu sederhana. Dan manusia suka rumit.”
Aku tertawa pelan. Dan dia ikut tertawa. Tapi di sela tawa itu, ada rasa sedih yang tak kami sebutkan. Barangkali karena kami tahu: kesederhanaan adalah hal yang paling sulit dijaga.
Di antara huruf-huruf itu, kami tidak menemukan angka. Tapi kami menemukan arah. Bahwa dari bak ke nun, kita belajar: usaha dimulai dari titik, dan kembali pada titik. Bahwa semakin banyak titik bukan berarti semakin baik. Karena titik yang terlalu banyak bisa berubah menjadi noda.
Kami tidak menyelesaikan pembicaraan malam itu. Karena tidak semua percakapan harus selesai. Beberapa cukup dikenang. Seperti huruf-huruf dalam nama seseorang yang pernah kita cintai diam-diam.
Dan sejak malam itu, setiap kali aku melihat huruf hijaiyah, aku tak lagi melihatnya sebagai pelajaran tajwid. Tapi sebagai pelajaran hidup. Dan pelajaran ekonomi.
Dari titik ke titik. Dari bak ke nun.
Syafaat, 01-05-2025