banner 728x250
opini  

Legitimasi Kinerja Tinggi Banyuwangi adalah Evaluasi Objektif atas Indikator, Bukan Ilusi Administratif

Pemberian predikat “kinerja tinggi” oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kepada Pemerintah Kabupaten Banyuwangi seyogianya dipandang sebagai hasil dari proses evaluasi teknokratis yang terukur, bukan sekadar pujian simbolik tanpa dasar. Di tengah tuntutan akan peningkatan kualitas birokrasi, predikat ini mencerminkan pencapaian administratif dan tata kelola yang mengikuti parameter yang dapat diverifikasi secara obyektif dan nasional, sebagaimana diatur dalam sistem evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah (EKPPD).

Kritik yang menyatakan bahwa penghargaan tersebut hanya menilai “kertas kerja” dan mengabaikan realitas sosial di lapangan, hal itu mengabaikan kenyataan bahwa evaluasi birokrasi memang berangkat dari dimensi administratif yang terukur. Dalam teori administrasi publik modern, akuntabilitas tidak hanya dilihat dari respons subjektif warga, tetapi juga melalui pencapaian indikator kinerja utama (key performance indicators/KPI) yang distandarisasi secara nasional. Banyuwangi, dalam beberapa tahun terakhir, menunjukkan kinerja signifikan dalam aspek digitalisasi layanan, peningkatan kapasitas fiskal daerah, hal-hal yang menjadi elemen krusial dalam penilaian Kemendagri.

Penting untuk dipahami bahwa EKPPD bukanlah alat evaluasi moral atau sosial, melainkan alat ukur kinerja birokrasi berbasis dokumen, capaian program, dan validasi sistem informasi. Argumen bahwa indikator tersebut bersifat artifisial atau “kosong substansi” sesungguhnya meremehkan signifikansi reformasi struktural yang tengah dijalankan oleh banyak pemerintah daerah, termasuk Banyuwangi, dalam menjawab tantangan zaman. Dalam hal ini, aspek-aspek seperti integrasi pelayanan berbasis elektronik, pemangkasan prosedur perizinan, dan peningkatan efektivitas anggaran menjadi indikator nyata reformasi birokrasi, bukan sekadar “pencitraan”.

Selain itu, metodologi penilaian Kemendagri bersifat komparatif dan longitudinal, sehingga predikat “kinerja tinggi” tidak lahir dari proses yang instan dan dangkal. Jika ada kritik terhadap kualitas pelayanan publik di level implementasi, maka itu menjadi bahan evaluasi lanjutan yang tidak serta-merta membatalkan capaian di level struktur dan sistem. Kritik bersifat anekdotal terhadap beberapa kasus pelayanan atau dugaan penyimpangan perlu ditangani secara spesifik melalui saluran hukum atau pengawasan internal, bukan dijadikan alasan untuk menolak keseluruhan capaian struktural.

Dalam pendekatan governance studies, kita mengenal konsep polycentric governance, yakni keberadaan banyak pusat keputusan dan evaluasi. Maka, tidak tepat jika penilaian Kemendagri disangkal semata karena adanya keluhan publik yang bersifat sektoral dan kontekstual. Justru, yang perlu dikembangkan adalah sistem pengawasan partisipatoris yang dapat melengkapi penilaian administratif, bukan menggantikan atau mendiskreditkannya secara total.

Akhirnya, pemberian predikat “kinerja tinggi” tidak bisa dibaca sebagai pengkhianatan terhadap akal sehat publik, melainkan sebagai pengakuan atas keberhasilan struktural yang tetap membutuhkan kritik konstruktif, bukan delegitimasi sepihak. Demokrasi membutuhkan kritik, tetapi juga obyektifitas dan keadilan dalam menilai capaian. Meneriakkan kegagalan tanpa membedakan antara masalah prosedural dan substansi kinerja justru malah menciptakan pesimisme institusional yang tidak produktif.

Oleh: Joko Wiyono

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *