Pelatihan untuk Ladies Companion (LC) atau pemandu lagu karaoke yang diselenggarakan oleh Balai Pelatihan Vokasi dan Produktivitas (BPVP) Banyuwangi telah memicu polemik di masyarakat. Pelatihan yang diadakan pada November 2024 lalu, di karaoke Ashika, Desa Karangbendo, Kecamatan Rogojampi ini mendapatkan sorotan luas. Banyak pihak mempertanyakan validitas, urgensi dan tujuan dari pelatihan ini, mengingat profesi LC sering kali dikaitkan dengan masalah sosial, etika moral, dan persoalan ekonomi. Bahkan, dalam konteks politik ada narasi bahwa hal ini sebagai pengalih perhatian masyarakat terhadap isu-isu persoalan krusial di Banyuwang maupun alat politik .
Namun, perlu diingat bahwa profesi LC, diakui secara sah dan diatur oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 369 Tahun 2013, yang menyebutkan bahwa pemandu karaoke termasuk dalam kategori pekerjaan yang diatur dalam Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), selain profesi di Kesenian, Rekreasi, Olah raga, Taman bertema atau taman hiburan dan Karaoke. Ini berarti, meski profesi LC sering mendapat stigma negatif, keberadaannya tidak dapat dipandang sebelah mata. Malahan, memiliki dasar hukum untuk mengatur dan memberikan pelatihan kepada mereka, seperti yang dilakukan BPVP Banyuwangi.
Penting untuk diingat bahwa dalam konteks ketenagakerjaan, UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 88 ayat (1) menyatakan bahwa ,”Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas: a. keselamatan dan kesehatan kerja; b. moral dan kesusilaan; dan c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama”.
Oleh karena itu, pelatihan yang diberikan kepada LC seharusnya dipandang sebagai langkah untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme mereka dalam industri hiburan yang sah dan dilindungi secara hukum.
BPVP Banyuwangi sendiri sejak 2019, telah melaksanakan berbagai pelatihan di berbagai bidang kejuruan yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja lokal. Sedangkan untuk pelatihan bagi LC di Banyuwangi baru pertama kali digelar, untuk di beberapa daerah lainnya di Jawa Timur, telah dilakukan sebelumnya.
Pelatihan ini, sesuai modul.adalah memberikan pelatihan para LC untuk mengembangkan keterampilan teknis dan soft skills, diantaranya adalah cara menyambut tamu karaoke, memilih lagu dan mengatur playlist, hingga memberikan bantuan teknis jika ada masalah dengan perangkat musik. Selain itu, mereka juga dilatih untuk mengontrol konsumsi makanan dan minuman.
Dengan memberikan pelatihan yang tidak dipungut biaya, BPVP Banyuwangi memberi kesempatan kepada warga Banyuwangi, termasuk para LC. Hal ini juga menunjukkan komitmen pemerintah dalam memberikan peluang yang setara bagi semua pihak, terlepas dari profesi yang mereka geluti.
Namun, polemik ini juga tidak terlepas dari konteks politik lokal. Beberapa pihak melihat pelatihan ini sebagai cara untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu besar lainnya, seperti sengketa Pilkada Banyuwangi di MK, kasus korupsi NH, masalah pertambangan, dan infrastruktur yang belum tuntas. Tak jarang, kebijakan pemerintah dilihat melalui asumsi politik praktis yang mungkin justru merugikan masyarakat.
Meski demikian, kita sebagai masyarakat perlu bijak dalam menyikapinya. Pelatihan LC ini, meski kontroversial, bisa menjadi momentum untuk meningkatkan profesionalisme pekerja hiburan dengan regulasi yang jelas dan sah. Terkait serifikasi, itu bentuk penghargaan karena telah mengikuti kegiatan pelatihan LC.
Harapannya, polemik tentang pelatihan LC ini tidak hanya menjadi perdebatan semata, tetapi juga menjadi kesempatan bagi semua pihak untuk melakukan evaluasi dan perbaikan yang lebih baik bagi semua pihak, dengan semangat keadilan dan kesejahteraan.
Oleh : Joko Tama