banner 728x250
opini  

BLT DD di suatu Desa Diduga Tidak Disalurkan, Bukti Lemahnya Tanggung Jawab dan Pengawasan Pemkab Banyuwangi

Kasus dugaan “Raib”nya dana Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD) di suatu Desa sebut saja Prindapan di wilayah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi. Jika hal tersebut terbukti benar tidak tersalurkan, ini adalah “peringatan keras” yang menandakan rapuhnya sistem pengelolaan keuangan desa, sekaligus lemahnya pengawasan dari Pemkab Banyuwangi.

Secara awal berdasar informasi media Online :
https://www.rubicnews.com/berita/45314914708/kepala-desa-plampangrejo-diberikan-batas-waktu-selama-tiga-jam-untuk-kembalikan-blt-dd-tahun-2024-rp-63-juta-jika-tidak-warga-ancam-laporkan-ke-aph ,
ada dana sebesar Rp 63 juta yang dialokasikan untuk 35 warga miskin justru tidak sampai ke tangan mereka, padahal Dana Desa Tahun Anggaran 2024 sudah cair.

Persoalan ini ramai muncul ke publik setelah organisasi masyarakat yang ada didesa dimaksud menggelar audiensi, pada Selasa (8/4/2025), dan menyatakan ultimatum tegas yakni : dana harus dikembalikan dalam waktu tiga jam atau akan dilaporkan ke aparat penegak hukum. Pernyataan ini bukan gertakan belaka, melainkan ekspresi kekecewaan mendalam masyarakat terhadap lemahnya tanggung jawab aparatur desa dan minimnya peran pengawasan Pemkab Banyuwangi.

Yang lebih memprihatinkan, oknum Kepala Desanya justru mengaku tidak tahu ke mana dana tersebut digunakan. Ini adalah ironi birokrasi, ketika warga miskin terabaikan haknya, dan masyarakat seakan bersikap skeptis, yakni apabila dilaporkan ke Inspektorat maka asumsinya akan hanya diberikan sanksi pembinaan dan pemgembalian dana dengan skema yang meringakan oknum kepala desa.

Menurut Permendes PDTT Nomor 13 Tahun 2023, alokasi BLT Dana Desa minimal 10% dari total Dana Desa, dengan nominal Rp 300 ribu per keluarga penerima manfaat (KPM) per bulan. Prosedurnya pun sudah jelas dan rinci: dimulai dari musyawarah desa, penetapan KPM, pencairan ke rekening kas desa (RKD), hingga penyaluran langsung kepada masyarakat. Jika dana telah masuk ke RKD, maka tanggung jawab penuh berada di tangan pemerintah desa.

Namun dalam kasus ini, semua mekanisme itu runtuh. Tak ada transparansi, tak ada pertanggungjawaban, dan cebderung tak ada sanksi berarti. Hal ini memperkuat dugaan bahwa bukan hanya aparatur desa yang lalai, tapi juga pemerintah daerah yang lemah dalam melakukan fungsi pengawasan dan pembinaan.

Pemkab Banyuwangi, melalui camat dan inspektorat dengan tim-timnya memiliki kewajiban untuk melakukan monitoring, audit berkala, dan pembinaan terhadap desa. Ketika pengawasan ini tumpul, maka penyalahgunaan dana sosial seperti BLT bisa dengan mudah terjadi dan berulang. Jika hanya mengandalkan laporan administratif tanpa verifikasi lapangan, maka pengawasan hanya menjadi formalitas.

Padahal, dalam konteks hukum administrasi negara, penyimpangan seperti ini bisa dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum (PMH) yang dapat ditindak secara pidana maupun administratif. Artinya, negara melalui pemkab Banyuwangi, punya dasar hukum dan kewajiban moral untuk bertindak lebih tegas, bukan sekadar menegur dan membina oknum

Kasus ini harus menjadi momentum perbaikan. Pengelolaan Dana Desa perlu transparansi yang lebih tinggi. Beberapa langkah mendesak yang harus dilakukan antara lain dengan Penguatan peran BPD sebagai pengawas internal desa, Digitalisasi realisasi anggaran dan data penyaluran melalui portal publik, Peningkatan kapasitas aparatur desa dalam perencanaan dan pelaporan keuangan dan Penegakan hukum tegas terhadap penyimpangan dana sosial.

Jangan sampai pemerintahan di desa-desa yang seharusnya menjadi ujung tombak pengentasan kemiskinan justru menjadi ladang praktik koruptif yang merugikan rakyat kecil. Pemkab Banyuwangi harus hadir bukan hanya sebagai pencatat administrasi, tapi sebagai pelindung hak-hak dasar masyarakat desa.

oleh : Joko Wiyono, SH. –  Komunitas Pemerhati  Banyuwangi  (KPB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *