Actanews.id – Di balik euforia politik lima tahunan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), sering kali menyisakan narasi yang justru bertentangan dengan semangat demokrasi. Kemenangan dianggap segalanya, bahkan kekalahan kadang dicap sebagai aib, dan adanya polarisasi (perbedaan antar kelompok pendukung) di masyarakat, diperdalam oleh retorika politik yang tidak bertanggung jawab. Padahal, demokrasi yang sehat membutuhkan kandidat yang mampu menjadi teladan perdamaian dan pemersatu, baik dalam kemenangan maupun kekalahan.
Para kandidat, memiliki tanggung jawab moral untuk menunjukkan bahwa kontestasi politik bukan sekadar ajang perebutan kekuasaan, tetapi juga ruang untuk memperkuat persatuan masyarakat. Pilkada harus menjadi momentum membangun masa depan bersama, bukan menciptakan jurang perpecahan di masyatakat.
Bagi kandidat yang menang, kemenangan bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan awal dari tanggung jawab besar.
Seorang pemimpin sejati harus mampu merangkul semua golongan, termasuk mereka yang tidak memilihnya. Ini bukan hanya soal etika politik, tetapi juga langkah strategis untuk memperkuat legitimasi kepemimpinan. Jika hanya fokus pada kelompok pendukungnya, pemimpin akan menciptakan ketimpangan baru yang mengancam stabilitas sosial.
Tidak cukup rekonsiliasi, kandidat yang menang harus membuktikan bahwa janji kampanye bukanlah retorika semata, melainkan kontrak moral yang wajib diwujudkan. Sikap ini penting untuk mengikis pandangan masyarakat terhadap politisi yang sering kali dianggap hanya mengejar kekuasaan.
Sebaliknya, kandidat yang kalah memiliki peluang besar untuk menunjukkan kedewasaan politik dengan menerima hasil Pilkada secara lapang dada. Mereka dapat menjadi simbol demokrasi yang matang, mengedukasi pendukungnya untuk menolak provokasi, dan menjaga harmoni masyarakat
Namun, realitasnya kadang kandidat yang kalah justru melakukan pembiaran pada para pendukungnya yang dapat menjadi pemicu konflik dengan menggiring narasi kecurangan tanpa bukti, atau membiarkan hoaks menyebar. Sikap seperti ini dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi.
Kandidat yang kalah seharusnya memanfaatkan momen ini untuk membangun kekuatan politik dengan mendekati dan mengabdikan diri pada masyarakat dengan cara yang lebih inklusif, tidak harus menunggu menjadi sebagai pemenang di Pilkada.
Di sisi lain, media massa, baik mainstream maupun media sosial, terkadang mempengaruhi suasana dengan narasinya yang dapat memperdalam polarisasi (perbedaan). Padahal, media seharusnya menjadi ruang edukasi politik yang mendukung proses demokrasi yang sehat dan damai.
Untuk menciptakan demokrasi yang sehat, maka semua pihak yakni kandidat, pendukung, media, dan pemerintah harus berkomitmen penuh pada nilai-nilai persatuan dan transparansi. Kandidat yang menang harus memprioritaskan rekonsiliasi, sementara kandidat yang kalah harus menjadi teladan kedewasaan politik.
Pada akhirnya, Pilkada bukan hanya soal menang atau kalah. Ini adalah tentang bagaimana demokrasi bekerja untuk menghasilkan pemimpin terbaik yang mampu melayani seluruh rakyat. Demokrasi yang sehat membutuhkan kandidat yang matang, masyarakat yang kritis, dan sistem yang adil, sehingga Pilkada juga menjadi momentum untuk memperkuat persatuan dan bersama membangun masa depan daerah yang lebih baik untuk semua.
Oleh: Joko Tama