banner 728x250
opini  

Mencegah Praktik “Ijon” Proyek, demi Pemerintahan yang Bersih di Banyuwangi

Actanews.id –  Menjelang pemilihan kepala daerah di Kabupaten Banyuwangi, isu dugaan praktek “ijon” proyek kembali mencuat. Praktik ini diduga melibatkan sejumlah oknum pejabat daerah, dengan minta fee (meski pekerjaan proyek belum ada/belum dikerjakan) kepada beberapa kontraktor tertentu. Bahkan, fee yang jumlahnya milyaran rupiah tersebut, diduga untuk mendukung kampanye salah satu pasangan calon  bupati. Praktik ini mengundang berbagai reaksi dari publik terkait etika, legalitas, serta pentingnya peran lembaga kontrol sosial dalam menjaga pemerintahan yang bersih dan transparan.

Secara hukum, praktik “ijon” proyek masuk kategori pelanggaran berat. Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, permintaan fee proyek yang tidak berlandaskan hukum dapat dianggap gratifikasi atau bahkan suap. Apalagi jika hal tersebut bertujuan untuk mendukung agenda politik tertentu, sanksi pidana yang menanti tidaklah ringan, baik bagi pejabat maupun kontraktor yang terlibat.

Namun, praktik ini bukan sekadar pelanggaran hukum—lebih dari itu, juga mencederai etika pemerintahan dan berdampak luas pada publik. Berikut beberapa implikasi buruk yang mungkin timbul, yakni :

1. Kualitas Proyek Menurun
Beban fee proyek dapat memaksa kontraktor untuk menekan biaya pembangunan, berakibat pada kualitas proyek yang tidak maksimal. Hal ini sangat berbahaya, terutama jika proyek tersebut merupakan infrastruktur vital seperti jalan raya, jembatan, atau saluran irigasi yang dibutuhkan masyarakat.

2. Persaingan Usaha yang Tidak Sehat
Adanya kewajiban fee awal menutup peluang bagi kontraktor lain untuk bersaing secara adil, sehingga hanya kelompok tertentu yang dapat mengakses proyek pemerintah. Praktik ini menciptakan monopoli proyek oleh kelompok yang dekat dengan penguasa, merusak iklim bisnis yang sehat.

3. Pemborosan Anggaran Publik
Kontraktor yang terbebani fee proyek cenderung menaikkan nilai anggaran atau harga tender, yang pada akhirnya menguras anggaran publik. Dana yang seharusnya digunakan untuk pelayanan publik justru tersedot untuk memenuhi kebutuhan fee yang tidak seharusnya.

4. Kehilangan Kepercayaan Publik
Ketika publik mengetahui bahwa proyek pemerintah dimanfaatkan untuk agenda politik pribadi, kepercayaan terhadap pemerintah akan semakin tergerus. Hal ini memperburuk citra pemerintahan yang seharusnya berfungsi sebagai pelayan rakyat.

Peran Lembaga Kontrol Sosial

Dalam situasi ini, lembaga kontrol sosial, termasuk media, LSM, dan organisasi masyarakat, harus tampil sebagai garda depan untuk mendorong transparansi, akuntabilitas, dan integritas pemerintahan. Mereka memiliki peran strategis dalam mengawasi dan mengedukasi publik tentang bahaya praktik korupsi dalam sektor publik. Beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan antara lain:

1. Pengawasan Tender yang Ketat
Proses tender harus dipantau agar berlangsung secara transparan tanpa intervensi. LSM dan media dapat berperan aktif dalam pemantauan independen, memberikan akses bagi masyarakat untuk melaporkan indikasi pelanggaran.

2. Pelaporan Dugaan Pelanggaran ke Aparat Penegak Hukum
Jika ada indikasi pelanggaran yang cukup bukti, lembaga kontrol sosial dapat melaporkannya ke pihak berwenang, seperti KPK, menunjukkan bahwa masyarakat tidak mentolerir korupsi dalam bentuk apa pun. #laporkan

Dugaan praktik “ijon” proyek ini adalah ujian besar bagi integritas pemerintahan di Banyuwangi, terutama menjelang pemilu. Pemerintahan yang bersih harus mampu menolak penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan politik atau pribadi. Dalam menjaga keberlangsungan proyek publik, kolaborasi antara masyarakat dan lembaga kontrol sosial sangat penting. Mereka adalah penjaga utama dalam memastikan proyek yang dibiayai uang rakyat dijalankan dengan benar, transparan dan akuntanbilitas.

Oleh : Joko Tama

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *