Banyuwangi – Malam itu, langit Lapangan Dadapan berselimut ketenangan. Angin berembus pelan, membawa harum tanah yang masih menyimpan jejak siang. Dari kejauhan, gemerlap lampu-lampu panggung membentuk bayangan di wajah-wajah yang menunggu. Ratusan orang duduk bersila, tak sekadar hadir, tetapi meresapi.
Lalu, suara itu datang—mengalun pelan, menembus batas kesadaran. Shalawat.
Malam itu, 14 Februari 2025, bukan sekadar malam perayaan. Forum Komunikasi Wartawan Bersatu (FKWB) memilih jalan yang lebih syahdu untuk memperingati Hari Pers Nasional. Bukan seminar yang dipenuhi debat dan diskusi, bukan panggung yang berisi pidato panjang. Tetapi shalawat—doa yang meluruhkan kesombongan, merapatkan hati yang renggang, menghubungkan manusia dengan keheningan langit.
Di sudut lapangan, Kapolsek Kabat, AKP Kusmin, berdiri tegap. Matanya menyapu barisan yang duduk bersila, memastikan segalanya berjalan dalam kedamaian. Sesekali, senyum tipis tersungging di wajahnya. Sementara itu, di Balai Desa Dadapan, Kapolres Banyuwangi, Kombes Pol Rama Samtama Putra, berdiri di hadapan tumpeng yang siap dipotong.
“Saya berharap agar sinergi antara Polri dan insan media makin solid dan terjaga dengan baik. Dengan demikian, kita dapat bekerja sama untuk meningkatkan keamanan dan kenyamanan masyarakat.”
Suaranya hangat, seperti pelita yang menyala di tengah malam. Kata-katanya tidak hanya ditangkap telinga, tetapi juga hati. Sebuah janji tak terucap lahir malam itu—janji untuk tetap bersama, menjaga harmoni antara kepolisian dan insan pers.
Ketika kelompok hadrah Riyadhul Jannah mulai melantunkan shalawat, waktu seakan melambat. Tabuhan rebana berpadu dengan suara-suara yang merdu, membentuk gelombang doa yang naik ke langit.
Di antara ratusan orang yang hanyut dalam lantunan shalawat, seorang pria duduk tenang. Syafaat, Ketua Lentera Sastra Banyuwangi, menatap panggung dengan sorot mata yang menyimpan kenangan. Malam itu, ia tak hanya datang sebagai seorang sastrawan, tetapi juga sebagai sahabat.
Di seberang sana, Kapolsek Kusmin menangkap tatapannya. Dalam satu kedipan, ingatan mereka berlari ke masa lalu—ke bangku kuliah yang pernah mereka duduki bersama. Bersama Joko Wiyono, seorang wartawan yang kini juga hadir, mereka pernah berbagi mimpi tentang keadilan dan kebenaran.
Takdir membawa mereka pada jalan yang berbeda. Tapi malam ini, shalawat menyatukan mereka kembali. Bukan dalam ruang kelas, tetapi dalam gelombang doa yang sama.
“Ini bukan hanya tentang memperingati Hari Pers Nasional, tetapi juga tentang memperkuat tali persaudaraan,” bisik Syafaat, suaranya lirih namun penuh makna.
Sebelum shalawat berakhir, tumpeng dipotong. Simbol rasa syukur, simbol kebersamaan. Semua yang hadir menyatukan tangan dalam doa—bukan hanya untuk insan pers, tetapi juga untuk negeri yang lebih damai, untuk masyarakat yang lebih tenteram, untuk setiap kata yang ditulis dengan niat baik.
Malam itu, Banyuwangi menjadi saksi bahwa shalawat, doa, dan kebersamaan adalah bahasa universal yang menyatukan siapa saja. Bahwa cahaya yang lahir dari persatuan lebih terang daripada sekadar kilatan kamera atau sorot lampu panggung. Dan bahwa di balik setiap berita, ada hati yang bergetar—menuliskan kisah yang tak hanya hidup di lembaran kertas, tetapi juga di sanubari mereka yang menyaksikannya.
oleh ; Syafaat