Oleh : Joko Tama
HUSEN, teman saya yang juga seorang penulis, adalah sosok yang sering kali menyampaikan refleksi sosial melalui tulisan-tulisan kehidupan keseharian masyarakat sederhana. Terkadang, tulisannya terlihat seperti campuran ide terkesan ringan yang dilempar begitu saja, Namun, jika kita sedikit lebih jeli, tulisan maupun kata-katanya tersebut penuh makna dan justru adalah fakta.
Pernah suatu kali, kami sama-sama menertawakan diri sering gak punya uang. Husen santai berkata, “Wong nek semakin gak duwe duit, iku semakin lucu goyone.” (Orang kalau makin nggak punya uang, makin lucu aja melawaknya). Benar juga sih, banyak hal lucu muncul ketika kita merasa terpuruk bersama-sama, seolah-olah tawa menjadi cara kita bertahan.
Lalu, saat kami ramai-ramai sibuk argumen mengkritik kebijakan pemerintah Kabupaten, Husen tiba-tiba mengeluarkan kalimat: “Ketang durung tau rasane dadi pejabat!” (memang, jika belum pernah merasakan jadi pejabat?!). Lantas, diskusi kami pun berlanjut, meski sering kali tanpa arah yang jelas, namun tetap seru. Itulah Husen, dia bisa membalikkan pembicaraan serius menjadi renungan yang menggelitik, tanpa harus menghilangkan esensi dari topik pembahasan.
Disetiap akhir tulisan, Ia kerap mencantumkan tentang tempat tinggalnya, Rogojampi, yang kemudian bergeser diganti menjadi “Banyuwangi”. Tentu kota tersebut berarti “istimewa” buatnya, bukan hanya karena tanah kelahiran, tetapi juga karena keberagaman suku dan budayanya.
Seolah menggugat kita untuk merenung: apa kuta telah benar-benar memahami keberagaman yang kita hadapi setiap hari?. “…durung sholat pak? tanya Husen kepada saya suatu ketika,.. ya wis gak apa-apa,” sambung Husen sebelum saya menjawab. Ya, kadang, membuat saya tertawa sekaligus berpikir maksud dari perkataannya. “Keberagaman liberal,” guman saya.
Tulisan Husen, menurut awam saya kadang tidak konsisten atau melompat ditiap paragraf, dari satu topik ke topik lainnya, tetap ada kesan mendalam. Misalnya, ia menulis tentang Muhammadiyah, nama yang identik deqmgan sebuah ormas besar yang ada di Indonesia, dan membuat cerpen berjudul cukup menggelitik: “Joko Muhammadiyah. Baca : “https://aktualline.com/2025/01/15/joko-muhammadiyah/
Kenapa tidak disamarkan dengan judul “Joko MD (Muhammadiyah)” saja, atau “Mahfud MD, bukan Mahfud NU” atau bahkan “Hebat mana? Ormas Muhamadiiyah dibanding NATO?” dan semacamnya lah.., Tapi Husen memprovokasi kita untuk berpikir jauh tentang hubungan antara ormas dan kehidupan keseharian yang ringan, meskipun dengan cara yang tidak selalu linear, kadang menggelikan, diakhiri dengan tulisan makan mie ayam. Meski rencana semula makan mie ayam, pada faktanya nemunya bakso “Pak Edi”, di Pasar Terminal Terpadu Sobo.
Lewat cerita ini, Husen mengingatkan kita untuk tidak terlalu selalu serius, memghargai keberagaman kehidupan, meskipun ada banyak hal besar yang perlu kita pikirkan. Kadang, hidup ini perlu sedikit tertawa. Dibuktikan, lihat saja foto Husen di berbagai platform media, selalu tersenyum bahkan hingga sumringah.
Husen, yang menurut saya juga bagian dari Maiyah, tidak hanya menulis untuk mengkritik atau merenung, tapi juga untuk mencari makna hidup yang lebih dalam. Tulisan-tulisannya mencerminkan pencarian spiritual yang berlanjut, seolah seperti “Cak Nun” yang selalu mengajak kita berpikir diluar kontek dan sesuai masanya.. Meski kadang menulis tentang topik berat, Ia mengemasnya dengan cara yang rileks dan ringan, membuat kita merenung sambil tersenyum. “Nek moco tulisanku terus senyum, aku wis seneng,” ungkap Husen.