banner 728x250
opini  

Ormas, LSM, dan Pers sebagai Pilar Pengawas Pemerintah di Banyuwangi

Oleh : Joko Wiyono

Dalam sistem demokrasi, keberadaan organisasi masyarakat (ormas), lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan pers merupakan elemen penting dalam menjalankan fungsi kontrol sosial dan pengawasan pembangunan. Dalam kerangka teoritik dan normatif, pihak-pihak tersebut berfungsi sebagai “watchdog” atas jalannya pemerintahan, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Di Kabupaten Banyuwangi, apakah fungsi tersebut sepenuhnya telah dijalankan secara opfimal dan efektif?. Masih maraknya dugaan korupsi, penyalahgunaan anggaran desa, ditemukannya proyek fiktif, hingga praktik politik transaksional yang sifatnya relatif besar, menunjukkan salah satu indikasi bahwa fungsi kontrol  dari ormas, LSM serta pers perlu  lebih dioptimalkan.

Secara akademis, fungsi kontrol sosial oleh ormas dan LSM mencakup advokasi kebijakan publik, edukasi masyarakat, dan pembelaan terhadap hak-hak warga yang dilanggar. Sedangkan pers bertugas menyampaikan informasi yang akurat dan kritis sebagai bentuk pertanggungjawaban publik terhadap kekuasaan.

Dalam praktiknya, tidak bisa dipungkiri bahwa oknum dari pihak-pihak tersebut justru diindikasikan besar banyak bersifat pragmatis, berelasi transaksional dengan pemerintah. Mereka lebih fokus mengajukan proposal kegiatan proyek dan menerima hibah APBD, karena pasti lebih menjamin kecukupan kebutuhan ekonomi mereka, ketimbang mengawas program dan jalannya pembangunan. Hal ini menimbulkan konflik kepentingan dan menumpulkan daya kritis mereka. Sebagaimana kritik dalam sejumlah kajian sosial-politik, bahwa ketergantungan terhadap anggaran pemerintah membuat sebagian besar oknum LSM dan ormas kehilangan independensinya.

Di sisi lain, media lokal pun tidak sepenuhnya netral. Tidak bisa dipungkiri masih banyak oknum media yang menjadi “corong” kekuasaan, bahkan dalam beberapa tempat menjadi bagian dari tim sukses atau konsultan pencitraan kepala daerah. Berita-berita yang dimuat kerap kali hanya berisi seremonial, tanpa ada investigasi mendalam terhadap proyek-proyek publik yang patut diawasi. Padahal, sesuai UU Pers Pasal 6, media wajib melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Meski begitu, tidak semua ormas, LSM, dan media terkooptasi. Beberapa kelompok tetap gigih menyuarakan penyimpangan yang terjadi. Misalnya, pengungkapan dugaan korupsi di PT.BSI, pengelolaan dana hibah kelompok tani dan proyek infrastruktur oleh sejumlah aktivis independen, atau liputan-liputan kritis dari media alternatif yang berani menyoroti persoalan lingkungan di daerah perkebunan, pegunungan Ijen dan pesisir Banyuwangi, serta pertambangan ilegal

Namun keberhasilan ini masih sporadis. Dalam banyak kasus, kontrol dari ormas dan media bersifat reaktif, bukan preventif. Mereka baru bersuara ketika skandal sudah membesar. Padahal, pengawasan yang baik seharusnya bersifat sistemik dan partisipatif sejak perencanaan hingga pelaporan anggaran.

Lebih parah lagi, beberapa oknum ormas justru menjadi alat kekuasaan, bagian dari praktik oligarki lokal, terlibat dalam pemilu kepala daerah sebagai pendukung paslon tertentu, bahkan ikut menikmati pembagian proyek atau jabatan politik pasca-kemenangan. Ini bertentangan dengan Pasal 59 UU Ormas yang melarang ormas melakukan kegiatan politik praktis, penyalahgunaan wewenang, dan konflik kepentingan.

Masyarakat juga memiliki peran penting. Mereka perlu mendukung media yang independen dan mendorong munculnya kelompok sipil baru yang bersih dari kepentingan politik. Hanya dengan sinergi antara masyarakat, pers, dan LSM yang sehatlah pengawasan terhadap kekuasaan dapat berjalan efektif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *