banner 728x250
Sastra  

Hikmah di Penghujung Ramadhan

Oleh: Joko Wiyono

Malam di penghujung ramadhan, shalat tarawih baru berlangsung, namun pandanganku tertuju pada seorang anak laki-laki kelas 6 SD, berdiri tegap tepat di barisan depanku. Aku mengenalnya, tahun lalu, ia selalu shalat bersama ayahnya, yang kini telah tiada, meninggal dunia akibat kecelakaan.

Bagaimanapun fokusnya sholatku, tetap teringat bagaimana ayahnya sering mengajakku ngobrol, selalu ramah dan semangat saat bertemu di mushola. Kini, sang anak berdiri sendiri, tanpa sosok yang dulu selalu mendampinginya. Meski terlihat teguh, tapi bagaimana perasaannya?.

Di kesempatan lain, seorang teman bercanda membandingkan hidupku dengan seorang Dandim, meski kami memiliki nama yang sama. “Punya nama sama, tapi nasib jauh berbeda,” katanya, setengah bercanda.

Namun, jawaban pak Dandim berkesan dibenakku “Setiap orang memiliki perannya masing-masing di dunia. Tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi, semua mulia jika dijalankan dengan baik,” ujarnya.

Dua kisah ini menyatu dalam pikiranku. Kehilangan atau dalam keadaan “tidak beruntung”, adalah bagian dari kehidupan.

Seorang anak mampu menghadapi duka besar kehilangan sang ayah, tetapi tetap sabar dan teguh, tetap rutin ibadah dan menjadikannya lebih mandiri.

Seorang Dandim yang memahami bahwa kemuliaan tidak terletak pada pangkat, melainkan pada bagaimana seseorang menjalankan perannya masing-masing dengan penuh keikhlasan, sabar dan baik, tentu akan dinilai mulia.

Hidup ini memang penuh dengan ketidakpastian. Kadang kita diberi kebahagiaan, kadang kehilangan. Kadang kita diangkat, kadang dijatuhkan. Tetapi di antara semua itu, yang membedakan adalah bagaimana cara kita menerima dan menyikapinya, sehingga ada pelajaran dan hikmah berharga sebagai bekal meeghadapi kehidupan kita yang lebih baik.

Sabar bukan berarti pasrah, tetapi tetap berusaha setelah menerima kenyataan. Syukur bukan hanya ucapan, tetapi kesadaran bahwa apa pun yang terjadi adalah bagian dari perjalanan yang telah digariskan oleh Tuhan.

Anak itu mengajarkanku bahwa kehilangan sebagai awal dari perjalanan baru untuk menjadi lebih kuat. Dan Pak Dandim mengingatkanku bahwa nilai seseorang tidak diukur dari statusnya, tetapi dari ketulusan dan keteguhannya dalam menjalani kehidupan.

Semoga Ramadhan ini meninggalkan jejak kebaikan dalam hati kita. Mengajarkan bahwa kesabaran, keikhlasan,dan rasa syukur dan ketulusan lebih bermakna daripada sekadar mengejar kedudukan dunia. Sebab, pada akhirnya, hidup bukan soal seberapa tinggi jabatan dan kekayaan kita, tetapi seberapa teguh dan ikhlas kita menjalani segala ketetapan-Nya, sehingga setiap langkah kita di ridhoi dan bernilai ibadah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *