Oleh : Syafaat
Ada kalanya kita tidak tahu bahwa kita sedang mengingat sesuatu, sampai suatu malam yang hening, ketika suara rintik hujan turun perlahan dan lampu-lampu kantor pemerintah menyala sendu, dan barisan bus-bus tersusun rapi di jalanan, bersama wajah-wajah ceria yang menahan haru. Malam itu, Banyuwangi melepas jamaah hajinya. Dan saya, yang berdiri di sana sebagai saksi, merasa tidak sedang menyaksikan keberangkatan, tapi sedang bertemu kembali dengan sesuatu yang dulu pernah saya jalani—dan kini kembali menggugah sesuatu dalam hati yang diam-diam luka karena waktu.
Saya mengenalnya tahun lalu. Di Makkah. Dalam musim yang tidak pernah biasa: haji.
Saya sebagai ketua kloter SUB-58. Ia, Zainur Rofik, salah satu ketua rombongan. Jauh lebih muda dari saya. Wajah tenang, sorot mata jernih, gerak tubuh tegap dan efisien. Tapi bukan itu yang membuatnya tinggal dalam ingatan saya.
Yang membuatnya tetap tinggal—seperti gema yang tak pernah selesai dipantulkan malam—adalah cara istrinya memanggilnya: “Sayyang…”
Bukan “Mas”, bukan “Dek”, bukan “Pakne”, bukan juga “Abang”. Tapi “Sayyang”, dengan dua “y” yang membuatnya terasa panjang, dan dalam. Sapaan itu jatuh di telinga saya seperti embun yang pelan-pelan membasahi luka ingatan tentang cinta yang dulu saya kira sudah punah dari pernikahan.
Ternyata, itu bahasa Bugis. Artinya: sayang. Atau kekasih. Atau barangkali lebih dari itu: belahan hati yang telah lama dirawat dalam diam, dan tiba-tiba mekar dalam kata yang tak disadari sedang menjadi puisi.
Saya melihat mereka setiap hari di Tanah Suci. Tidak selalu bergandengan. Tidak juga pamer kemesraan. Tapi selalu berjalan beriringan. Dalam diam yang saling memahami. Dalam isyarat yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang telah lama berjalan bersama. Jarak mereka pendek, tapi maknanya panjang.
Dan saya pun diam-diam mencatat banyak hal selama musim haji itu. Terutama bagaimana pasangan-pasangan memanggil satu sama lain. Dari yang klasik dan penuh kasih, hingga yang meledak seperti perang di atas pasir panas: “Woi!” Tapi “Sayyang”—ah, itu lain. Itu bukan sekadar sapaan. Itu semacam doa yang tidak perlu dimulai dengan “Ya Allah”, karena kehadirannya sendiri sudah menjadi pengharapan yang diaminkan setiap hari.
Saya tidak tahu kapan terakhir kali saya mendengar seorang istri memanggil suaminya dengan suara semesra itu. Dan yang lebih menyentuh: Rofik, sang suami, tak pernah menoleh terburu-buru. Ia menjawab dengan gerakan sederhana: sedikit miringkan tubuh, lalu memperlambat langkah. Seolah tahu, bahwa suara itu tidak perlu dijawab dengan kata-kata, cukup dengan kehadiran yang tidak menjauh.
Lalu saya tahu lebih banyak tentangnya. Ia kepala sekolah negeri di Wongsorejo. Masih muda. PNS. Guru bahasa Inggris. Pengusaha. Dan yang paling membuat saya tertegun: ia petugas haji yang bukan berasal dari Kementerian Agama, bukan pula dari pesantren atau perguruan tinggi Islam. Tapi ia tahu cara membimbing. Ia tahu cara merawat jamaah. Ia tahu kapan harus menuntun dan kapan harus mendengarkan.
Rofik memecahkan pola. Tapi ia melakukannya dengan tenang. Tanpa perlu menggugat sistem. Tanpa unggahan panjang tentang perjuangannya. Ia hanya hadir dan bekerja. Dalam kesenyapan yang anggun.
Saya ingat betul, suatu pagi di Arafah, ia berjalan pelan mengantar seorang jamaah kloter lain yang tersesat. Dan ketika akhirnya jamaah itu diantar kembali, justru Rofik-lah yang kehilangan arah ke tendanya sendiri. Kami tertawa. Tapi itu bukan tawa mengejek. Itu tawa yang lahir dari kagum. Hanya mereka yang tulus, yang bisa lupa pada dirinya sendiri demi orang lain.
Itulah haji. Ia bukan sekadar rukun-rukun yang diselesaikan dalam hitungan hari. Ia adalah cermin. Ia adalah pelajaran tanpa kelas. Ia adalah drama keikhlasan, yang kadang sunyi, tapi penuh makna.
Dan Rofik, dalam diamnya, telah menjadi narasi yang terus saya ingat. Bukan karena kehebatannya. Tapi karena kebiasaannya yang ia jalani dengan sungguh-sungguh. Dalam tugas. Dalam cinta. Dalam panggilan-panggilan kecil yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang bersedia berjalan pelan, sambil menunggu yang lain mengejar.
Saya baru tahu belakangan, sebelum kuliah, Rofik adalah santri di Sukorejo. Sebuah pesantren besar di utara Banyuwangi yang pernah saya kunjungi, bukan sebagai santri, tapi sebagai teman dari salah satu warga yang kini menjadi rektor di kampus dalam pesantren itu. Mungkin, jejak-jejak keheningan dan ketelatenan itu lahir dari sana. Dari ruang-ruang salat malam yang tak pernah diunggah. Dari belajar diam-diam, tanpa perlu pengakuan.
Saya percaya, bahwa cinta yang paling lama umurnya adalah cinta yang tidak ribut. Yang tidak selalu tampak. Yang tidak perlu caption. Ia lahir dari pengorbanan-pengorbanan kecil yang tak sempat disebutkan. Dari antrean toilet di Mina. Dari kecemasan mengurus koper jamaah yang tertukar. Dari menjaga marwah suami-istri di tenda-tenda sempit, sambil tetap saling tersenyum.
Dan saya tahu, hanya mereka yang melihat pasangannya dengan cara yang benar, yang bisa memanggilnya dengan sapaan yang abadi: “Sayyang.”
Bagi saya, itu bukan panggilan. Itu adalah puisi. Puisi yang tidak dicetak dalam buku. Tidak dibacakan di podium. Tapi dirawat dalam hidup yang keras dan berdebu. Dan kadang, cukup satu sapaan kecil—satu panggilan lirih di tengah Arafah—untuk mengingatkan kita bahwa cinta adalah bentuk ibadah yang tidak pernah usai. Cinta yang membuat dunia, betapa pun keras dan bisingnya, tetap bisa menjadi tempat pulang. Seperti doa yang datang diam-diam. Dan tiba di musim yang tepat.