Lagi,.. konotasi negatif muncul di Grup WhatsApp warga Banyuwangi, menyinggung soal kasus dugaan korupsi yang dikaitkan dengan “ular berkepala manusia atau di tafsirkan Gatotkaca”, yang pernah menjadi simbol daerah sebelum era patung Gandrung. Simbol ini, meski sebenarnya historis, namun lagi-lagi menimbulkan konotasi bahkan interprestasi negatif bagi banyak orang yang tidak mengetahui betul maknanya. Meski, simbol itu sudah bertengger di Ancak Angklung Caruk sejak kesenian itu ada.
Sebagai warga Banyuwangi, saya merasa perlu ikut menyuarakan makna sebenarnya di balik simbol yang sering disalahpahami itu.
Ingat keteragan Pak Ilham, salah satu anggota Tim Ahli Cagar Budaya Banyuwangi, tentang lukisan tahun 1859 karya peninggalan seorang pelukis Jerman, Johannes Muller. Memang, terlihat lukisan itu menggambarkan reruntuhan Candi era kerajaan Blambangan di Macan Putih Banyuwangi, dan memuat simbol ular berkepala mirip manusia bermahkota. Artinya, simbol tersebut bukanlah produk imajinasi baru, melainkan ada bukti sejarah (visual), yang telah lama ada dalam kebudayaan lokal Banyuwangi.

Simbol “Ular Berkepala Gatotkaca” sebenarnya bukan sekadar perpaduan antara hewan melata dan tokoh pewayangan. Budayawan Banyuwangi, Andang Chatib Yusuf, menjelaskan bahwa badan ular melambangkan rakyat biasa yang hidup sederhana, sementara kepala Gatotkaca mewakili para pemimpin yang berkedudukan tinggi. Kombinasi ini adalah representasi pemerintahan ideal, yakni sinergi antara rakyat dan pemimpin yang saling menguatkan.
Maka sangat disayangkan bila makna ini dikaburkan hanya karena penilaian kasat mata atau olok-olok semata, karena Ini bukan sekadar soal estetika simbolik, tapi soal penghargaan terhadap nilai filosofis dan sejarah lokal yang telah tertanam lama.
Di masa Bupati Samsul Hadi, pelestarian budaya Using dilakukan lebih menyeluruh. Tidak hanya mempertahankan simbol seperti “Ular Berkepala Gatotkaca”, tapi juga menambahkan representasi lain termasuk Patung Gandrung dan tokoh-tokoh cerita rakyat Banyuwangi. Di eranya pula, Bahasa Using mulai diajarkan di sekolah dasar, dan karya monumental berupa Kamus Bahasa Using diterbitkan oleh Hasan Ali. Inilah contoh kepemimpinan yang bukan hanya mengenal simbol, tetapi juga merawat dan meresapi akar budayanya.
Pergantian simbol ini, terjadi pada masa pemerintahan Bupati Abdullah Azwar Anas. Beliau menganggap bahwa simbol ular berkepala manusia (Gatot Kaca) membawa kesan yang membelenggu, menyerupai ular (dalam bahasa Jawa “ngulo”), sehingga harus diganti dengan ikon Gandrung yang lebih populer dan dianggap representatif. Namun, kesimpulan itu muncul dari pemahaman yang saya nilai tidak utuh terhadap makna simbol tersebut.
Ketika simbol daerah diganti karena tekanan stereotip atau ketakutan akan citra negatif, seharusnya pemimpin hadir untuk meluruskan kesalahpahaman, bukan menghindarinya, bahkan menghilangkannya.
Logika “melepaskan belenggu” dari simbol ular ternyata tidak jauh berbeda dari stigma terhadap kesenian Gandrung. Konotasi negatif terhadap kesenian Gandrung pun sempat muncul, dianggap sensual dan tidak religius. Padahal, pertunjukan Gandrung selalu diawali dengan doa dan banyak mengandung nilai moral.
Penegasannya, jika terjadi penyelewengan makna atau distorsi, seharusnya pemerintah hadir meluruskan. Beruntung kita masih memiliki sosok seniman budayawan seperti Budi Osing, yang secara “mandiri”, hadir dan berjuang dengan tulisan dalam buku-buku adat budaya osing, seakan menjadi “buku putih”, meluruskan adat budaya osing Banyuwangi untuk wajib dilestarikan.
Lebih dalam lagi, perempuan Banyuwangi pun tak luput dari stigma. Dalam kisah Damarwulan, tokoh Waito-Puyengan, yang digambarkan sebagai perempuan penggoda, sering dijadikan representasi keliru terhadap perempuan Osing. Ini adalah bentuk “kekerasan” simbolik yang harus diluruskan oleh pemerintah daerah sebagai pembentuk citra masyarakat.
Sebagai muslim, saya menyadari ada batasan dalam menyikapi simbol dan budaya. Namun, dalam kerangka toleransi dan moderasi beragama, nilai yang juga menjadi kebanggaan Banyuwangi, kita tetap bisa menghargai simbol dan tradisi leluhur tanpa melabrak prinsip-prinsip keyakinan.
Sudah saatnya kita tidak sekadar berburu estetika populer, tetapi juga menggali makna-makna filosofis lokal yang selama ini terlupakan. Banyuwangi tidak akan besar jika hanya bergantung pada citra. Ia harus kuat, salah satu akarnya adalah adat budaya luhur Banyuwangi.
Oleh: Joko Wiyono, Komunitas Pemerhati Banyuwangi (KPB)