Oleh : Joko Wiyono
Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur tengah merancang kebijakan yang menuai sorotan, yakni pengajuan hutang sebesar Rp.490 miliar untuk menambal defisit anggaran. Dalam sistim teknokrat, ini dianggap solusi. Namun bagi rakyat, kelak menanggung dampaknya misal dalam bentuk kenaikan pajak, berkurangnya layanan publik, dan ini adalah beban yang tak ringan.
Defisit anggaran bukan semata masalah teknis fiskal, namun juga bisa dianggap sebagai kelemahan dalam menetapkan skala prioritas, perencanaan yang tidak prkfesional, dan kepemimpinan yang gagal menghadirkan solusi jangka panjang. Dalam sistem tata kelola yang sehat, setiap belanja publik seharusnya dinilai dari manfaat sosial dan ekonominya bagi masyarakat. Bukan sekadar menghabiskan anggaran, lalu menambalnya dengan utang.
Lebih mengkhawatirkan lagi, hutang tanpa arah jelas justru akan menyeret Banyuwangi ke krisis fiskal yang berkepanjangan. Jika dana ratusan miliar ini hanya akan habis untuk proyek seremonial, penggajian birokrasi yang tidak produktif, atau meneruskan program gagal, maka rakyat berhak bertanya: untuk siapa sebenarnya hutang ini dibuat?
Sebagai masyarakat yang menjunjung nilai-nilai Islam, kita diajarkan untuk mendoakan para pemimpin. Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian; kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian.” (HR. Muslim). Doa ini bukan semata bentuk spiritualitas, melainkan komitmen sosial untuk menjaga pemimpin tetap berada di jalan yang benar.
Namun, amar ma’ruf nahi munkar adalah prinsip utama yang tak bisa ditanggalkan. Menasihati, mengkritik, dan mengingatkan pemimpin muslim dengan adab dan niat yang tulus adalah bentuk cinta yang sejati. Tunduk buta pada kekuasaan bukanlah tanda loyalitas, melainkan pengabaian terhadap amanah.
Padahal juga, Banyuwangi memiliki potensi luar biasa. Tambang emas PT BSI, sebagai contoh, memiliki nilai ekonomis tinggi. Jika pemerintah daerah serius dan transparan dalam mengelola kepemilikan saham atau menuntut logis dana CSR secara optimal, misalnya senilai Rp.500 miliar – Rp.1 triliun per tahun pun, bukan angka yang mustahil. Bukankah lebih arif menjual saham yang berpolemik, demi pembangunan, daripada menekan rakyat dengan tanggungan hutang?
Pemimpin yang amanah adalah mereka yang mampu mencari solusi dari keterbatasan, bukan yang menyerah dan justru membebani rakyat dengan beban struktural baru. Hutang ratusan miliar hanya akan punya arti jika digunakan secara produktif, transparan, dan berpihak pada kesejahteraan rakyat.
Insyaallah, sebagai rakyat dan muslim, kita tak akan berhenti mendoakan pemimpin sesama muslim agar diberi petunjuk dan kekuatan. Namun doa tak boleh menggantikan kewaspadaan. Karena cinta sejati kepada pemimpin adalah cinta yang jujur, yang tidak membiarkan mereka tersesat dalam kebijakan yang mendzolimi rakyatnya sendiri.