Revitalisasi Pasar induk Banyuwangi yang diharapkan menjadi solusi untuk meningkatkan perekonomian bagi pedagang dan masyarakat, kini menghadapi tantangan serius akibat kebijakan efisiensi anggaran. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, melalui Bupati Ipuk Fiestiandani, berupaya agar proyek ini tetap berjalan sesuai rencana.
Apakah efisiensi anggaran pada pasar induk Banyuwangi ini dilakukan demi kepentingan rakyat, atau justru menjadi semacam tameng bagi lemahnya komitmen pemerintah dalam menyediakan infrastruktur layak bagi pedagang, atau malah merugikan rakyat?. Efisiensi ini, dipastikan berdampak pada lambannya penyelesaian pembangunan dan tentu menimbulkan ketidakpastian bagi mereka yang menggantungkan hidup di pasar tersebut.
Harus dipahami, pasar induk (pasar tradisional) ini bukan hanya sekadar tempat jual beli, tetapi juga pusat interaksi sosial dan ekonomi masyarakat, karena pasar tradisional memiliki nilai historis yang kuat sebagai ruang publik yang menopang ekonomi kerakyatan, dan tentunya harus dipertahankan bahkan dilindungi keberadaannya.
Pasar induk Banyuwangi telah menjadi bagian dari roda perekonomian rakyat selama puluhan tahun. Revitalisasi yang direncanakan bertujuan agar pasar menjadi lebih modern dan layak, sehingga dapat meningkatkan daya saing pedagang lokal dengan ritel-ritel besar yang terus menjamur.
Kebijakan efisiensi anggaran di sektor publik dalam.hal ini pasar Induk Banyuwangi, meski bertujuan “nasional” untuk kesejahteraan rakyat, jika tidak tepat sasaran justru bisa menimbulkan kerugian pada masyarakat, bahkan bisa menyebabkan ketimpangan ekonomi yang lebih dalam, apabila para pedagang berlarut-larut lama ditempat relokasi.
Pemkab Banyuwangi mempunyai plan B, dengan berencana mencari pendanaan dari Corporate Social Responsibility (CSR) untuk membantu penyelesaian pembangunan revitalisasi pasar tersebut, yang kini per maret 2025, telah berprogres lebih dari 30persen. Namun, harusnya, pemerintah mempunyai skema dan perencanaan anggaran matang, bukan dengan jalan pintas dengan meminta dan menyerahkan tanggung jawab begitu saja ke pihak swasta lewat CSR.
CSR memang dapat menjadi solusi tambahan, tetapi tanggung jawab utama tetap harus berada di tangan pemerintah Jika terlalu mengandalkan CSR, ada risiko bahwa proyek ini akan kehilangan kontrol dari sisi kepentingan publik, bahkan malah bisa lebih berpihak pada kepentingan perusahaan swasta. Meski, diyakinkan tidak terlalu bersifat mengikat, namun kepentingan perusahaan yang menyalurkan tentu akan ada.
Pastinya, efisiensi anggaran seharusnya bukan menjadi alasan untuk menunda hak rakyat atas fasilitas yang layak, berdasar Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Oleh: Joko Wiyono, SH. – Komunitas Pemerhati Banyuwangi (KPB)