Kritik adalah bagian penting dari demokrasi. Ia menjadi pengingat bahwa setiap langkah menyangkut kepentingan publik harus bisa dipertanggungjawabkan, diantaranya dalam isu-isu krusial seperti lingkungan hidup. Namun, kritik juga harus bersandar pada pemahaman utuh atas konteks dan substansi.
Dalam hal ini, kritik yang ditujukan kepada Michael Edi Hariyanto oleh salah satu ketua LSM Peduli Lingkungan patut dibaca ulang dengan lebih jernih.
Objek kritik tersebut adalah upaya Michael mengubah kubangan bekas tambang galian C menjadi embung. LSM ini menyoal legalitas, mempertanyakan reklamasi, peran lahan dalam RTRW Banyuwangi, hingga menuding pembuatan embung sebagai bentuk pembenaran atas pelanggaran masa lalu. Kritik ini sah-sah saja. Tapi persoalannya, apakah hanya legalitas yang ingin kita bicarakan, atau solusi nyata bagi masyarakat?
Mari kita tengok fakta di lapangan. Embung adalah bentuk pemanfaatan ulang lahan pasca tambang yang sejalan dengan prinsip adaptive reuse, sebuah pendekatan lingkungan yang progresif. Kubangan bekas tambang diubah menjadi penampung air hujan, penyimpan cadangan air, bahkan bisa menunjang irigasi dan keberlanjutan pertanian. Apakah ini bukan langkah yang lebih layak diapresiasi daripada sekadar menyoal prosedur?
Justru yang perlu kita tanyakan adalah: di mana suara kritis dari lsm lingkungan tersebut saat pencemaran sungai dan laut terjadi akibat limbah industri? Saat tumpukan sampah menggunung tanpa pengelolaan yang benar? Saat alih fungsi lahan merusak keseimbangan ekosistem, atau saat aktivitas tambang di daerah lain merusak kawasan hutan lindung? Kritik yang “selektif” hanya memperlihatkan inkonsistensi kepedulian dan tendensi.
Dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, penegakan hukum tidak berhenti pada sanksi, tapi menekankan pemulihan dan pencegahan. Jika seseorang, dalam hal ini Michael berinisiatif memulihkan lingkungan melalui pembangunan embung, maka langkah ini semestinya dilihat sebagai tanggung jawab moral, bukan dijadikan objek persekusi administratif yang subjekif dan tendensius.
Lebih lanjut, tudingan bahwa proyek embung ini “menghambat investasi” terasa janggal. Apakah investasi hanya dimaknai dari sisi perizinan dan modal asing semata? Bukankah inisiatif lokal berbasis kebutuhan riil masyarakat justru bentuk investasi sosial dan ekologis yang baik?
Soal kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) memang patut diperhatikan. Tapi kita tak boleh menutup mata terhadap persoalan regulasi. Ketidakjelasan mekanisme pajak dan retribusi pertambangan bukan masalah personal, melainkan juga sistemik. Menyalahkan satu individu yang mencoba memperbaiki kerusakan justru merupakan kekeliruan logika yang berbahaya.
Lebih adil jika pertanyaannya dialamatkan kepada pemerintah daerah: di mana insentif bagi eks lokasi tambang yang direklamasi secara mandiri? Di mana roadmap pemulihan lahan pascatambang yang seharusnya disiapkan oleh otoritas?
Alih-alih sibuk mengarahkan kritik pada individu yang berikhtiar melakukan pemulihan, lebih baik kita menguatkan narasi bersama untuk restorasi lingkungan. Karena di tengah krisis ekologis yang kian nyata, solusi konkret jauh lebih penting daripada debat prosedural yang stagnan.
“Banyuwangi tidak butuh lebih banyak suara keras, tapi butuh lebih banyak suara waras!”
Oleh : Joko Wiyono, SH. – Komunitas Pemerhati Banyuwangi