Actanews.id – Malam itu, di depan sebuah toko di kota Banyuwangi, saya bertemu kembali dengan Gede, sahabat lama dari SMA setelah sekian lama akhirnya kami berjumpa lagi. Gede, dengan suaranya yang khas, sebelumnya sudah menelepon, “Tak jemput, tunggu di depan toko, bro…” katanya. Ciri khas Bali yang tak berubah.
Namun, pertemuan kali ini bukan sekadar reuni, namun sekalian menjenguk tetangga Gede, seorang muslim yang istrinya mengalami kecelakaan dan sedang dirawat di rumah sakit umum daerah. Meski Gede seorang Hindu, ia kelihatan bersemangat melihat dan memastikan keadaan tetangganya.
Ketika kami tiba di rumah sakit, saya melihat Gede bertindak cekatan. Mulai dari urusan administrasi hingga membantu keperluan biaya yang tidak ter-backup jaminan kesehatan. Sikapnya benar-benar tulus, seperti tak peduli dengan urusan perbedaan agama atau keyakinan.
“Ini baru namanya toleransi dalam tindakan,” batin saya.
Tindakan Gede mengingatkan saya bahwa toleransi sejati bukan hanya slogan, deklarasi dan istilah lainnya, melainkan sesuatu yang dihidupkan dalam praktek keseharian.
Setelah semua urusan selesai, kami memutuskan untuk makan dan ngobrol Pilkada. Dalam perjalanan pulang, kami melewati sebuah masjid Jami” Kota dan terdengar lantunan Asmaul Husna dari pengeras suara masjid tersebut, keras menggema di malam hari. Saya spontan bertanya, “De, menurutmu gimana? Keras juga ya?”
Gede tersenyum dan dengan santai menjawab, “Ya, sama aja, bro. Di tempat kami juga ada kok, cuma nggak setiap hari.” Saya tertawa kecil mendengar jawaban Gede yang sederhana, mungkin untuk menjaga suasana tetap damai dan yang pasti “cut’ sampe disitu obrolan. Di saat itulah saya sadar, perbedaan cara beribadah atau ritual sebenarnya tak terlalu penting dibahas, jika kita memahami inti dari keyakinan masing-masing yakni mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Sikap Gede, toleransinya begitu natural, tanpa dibuat-buat. Ia menghormati bukan hanya karena perbedaan agama, tetapi karena ia memahami bahwa kita semua memiliki persamaan nilai kemanusiaan. Di balik perbedaan, ada satu kesamaan yang tak bisa dipungkiri yakni keinginan untuk melakukan kebaikan.
Pesan moral yang saya dapatkan dari malam itu, Gede mengajarkan bahwa menolong orang, tak peduli apa latar belakang atau keyakinan mereka, adalah tindakan mulia. “Kalau kamu berbuat sosial, kerjakan saja dengan ikhlas. Jangan ada tendensi, Tuhan pasti akan membalas dengan cara-Nya,” ucap Gede dengan serius.
Juga saya ketahui, ternyata Ia beberapa kali bersama teman muslim secara mandiri memberi bantuan bahan material untuk memperbaiki rumah tidak layak huni (bedah rumah) di luar daerah tempat tinggalnya, dan yang pasti tanpa mengharap pengakuan.
Begitulah, dari pertemuan singkat itu, saya belajar bahwa toleransi bukan hanya tentang menerima perbedaan, tetapi tentang menghidupi nilai-nilai kemanusiaan dan persamaan yang kita miliki bersama, dan keyakinan bahwa yang Maha Kuasa pasti akan menolong dengan cara-Nya.
Hadits dari Ibnu Abbas
Rasulullah bersabda, “Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah?” Maka beliau bersabda, “Al-Hanifiyyah As-Samhah (yang lurus lagi toleran)”.
Oleh : Joko Tama, Bwi 4 Oktober 2024