Actanews.id – Dalam pilkada, fenomena adanya pimpinan/tokoh suatu LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau Ormas (organisasi masyarakat), yang beramai-ramai mendukung dan bahkan melakukan deklarasi memenangkan pada pasangan calon (paslon) petahana tak lagi mengejutkan. Namun pasti muncul pertamyaan, bukankah mereka seharusnya menjadi penyeimbang dan pengawas? namun mengapa justru beralih berperan aktif menjadi “striker” dalam lapangan politik?.
Sudah sejak lama ada teori yang memandang fenomena ini dengan istilah patronase politik. Bahwa, ada hubungan timbal balik antara Paslon petahana dan organisasi pendukung. Petahana membutuhkan legitimasi dan suara yang bisa dibantu diberikan oleh LSM/Ormas, sementara organisasi ini yang dimotori oleh pimpinannya tentu saja tak hadir dengan tangan kosong. Mereka mengincar sesuatu, misalkan akses ke anggaran daerah, program strategis, atau mungkin posisi strategis dalam pemerintahan. Simbiosis mutualisme ini saya istilahkan “simbiosis politikal”—win-win solution versi politik lokal.
Dari segi relasi kekuasaan, dukungan ini tidaklah mengejutkan. Paslon petahana memiliki segala keuntungan incumbency advantage: jaringan politik yang kuat, popularitas yang sudah terbangun, hingga memiliki/ mengontrol atas sumber daya/ dana, juga media. Jadi, mengapa melawan arus kekuasaan yang sudah mapan, kalau bisa “ikut perahu kekuasaan” dan menikmati buahnya bersama-sama? Seolah-olah lebih nyaman dan enak di bawah sayap kekuasaan, daripada tetap berpegang teguh pada idealisme!
Yang lebih menarik lagi adalah efek herd mentality atau mentalitas ikut-ikutan. Ketika seorang tokoh/pimpinan ormas yang besar sudah memberikan dukungan, yang lain tak mau ketinggalan untuk ikut mendukung.. Takut kehilangan momen atau bahkan… hehe… proyek-proyek daerah yang mungkin terlewat, mereka ikut arus. Maka, tak jarang kita melihat parade dukungan yang muncul berturut-turut, seolah ingin unjuk gigi di panggung politik.
Padahal, bukankah mereka seharusnya berperan sebagai “watchdog,” (penjaga dan kontrol sosial), bukan sebagai pendukung di garis depan? Ironisnya, dengan lantang mereka selalu mengklaim sebagai representasi suara rakyat. Dari pimpinan LSM hingga ormas, yang tadinya dikenal kritis, mendadak berubah haluan dengan slogan bombastis semacam “Lanjutkan!” atau “Tuntaskan!” Rasanya seperti menonton sandiwara yang plotnya sudah bisa ditebak.
Bahkan ada klaim dari mereka: “Ini untuk rakyat, menjjaga kondusifitas rakyat”, Namun, kita tahu betul siapa yang sebenarnya sedang diuntungkan. Di tengah pidato-pidato penuh semangat.dan dibawah baner serta bendera yang berkibar, satu hal yang pasti: kenyamanan berada di lingkar kekuasaan lebih penting daripada idealisme yang seharusnya mereka perjuangkan. Akhirnya, ironi politik ini lebih terasa seperti komedi, di mana janji untuk membela rakyat sering kali berakhir sebagai sekadar narasi, untuk mempertahankan “posisi” mereka sendiri.
Jenderal Soedirman pernah berpesan : “Hendaknya perjuangan kita harus kita dasarkan pada kesucian. Kami percaya bahwa perjuangan yang suci itu senantiasa mendapat pertolongan dari Tuhan.”
Oleh : Joko Tama, Bwi 22/9/2024