banner 728x250
opini  

Banyuwangi Tidak Butuh Lebih Suara Keras, Tapi Lebih Butuh Suara Waras

Ruang publik di Kabupaten Banyuwangi menunjukkan peningkatan suhu perdebatan yang cukup tajam diantara para intelektual. Beberapa kelompok ormas, aktivis, dan komunitas publik (Intelektual), yang sebelumnya dianggap sejalan dalam visi, kini mulai bersilang pendapat secara terbuka. Tak hanya di forum-forum diskusi formal, tapi juga lewat berbagai  platform media sosial yang kian menjadi “medan pertempuran gagasan dan saling sanggah”.

Salah satu yang  terjadi adalah polemik antara salah satu akun TikTok yang melontarkan kritik, cenderung terhadap salah satu tokoh politik lokal.  Repons juga muncul dari kelompok yang menamakan diri Peduli Banyuwangi, yang menyatakan niat melaporkan siapapun pihak ke aparat hukum jika dianggap menggangu ketertiban umum.

Terdapat kelompok lain melakukan kritis dengan pendekatan lebih frontal, mencirikan kelompoknya dengan cara aksi demonstrasi. Sementara disisi lain ada ormas lain, justru secara terbuka merespon berbeda.

Diluar soal tendensi masing-masing, perbedaan posisi di antara kelompok sipil, seharusnya dimaknai sebagai dinamika demokrasi yang hidup. Ini menandakan bahwa ruang publik kita tidak lagi didominasi oleh “loyalis buta” ataupun senioritas, melainkan mulai dipenuhi oleh keberanian secara terbuka untuk menguji gagasan dan menawarkan alternatif solusi.

Namun, tantangannya adalah bagaimana memastikan bahwa dinamika ini tidak mengarah pada disinformasi, polarisasi bersifat destruktif, atau bahkan saling meng-kriminalisasi kritik. Di sinilah fungsi negara, khususnya lembaga seperti Kesbangpol (Kesatuan Bangsa dan Politik), seharusnya hadir lebih proaktif.

Di tengah tantangan ini, peran masyarakat sipil/umum sangat vital. Masyarakat Banyuwangi harus didorong dan diharapakan untuk tidak hanya menjadi pengikut fanatik, tetapi idealnya menjadi pelaku aktif yang obyektif. Perdebatan yang terjadi harus menjadi alat pembelajaran kolektif.

Banyuwangi bukan hanya sedang membangun infrastruktur, tetapi  juga sedang membangun ruang pikir. Namun, ruang ini tidak akan sehat jika dibanjiri caci maki, hasutan, fitnah, atau dikotomi kami vs mereka. Ruang ini hanya akan produktif jika semua pihak yakni aktivis, ormas, pemerintah, hingga warga biasa, berani saling menguji, saling mengingatkan, dan saling memperkaya dengan gagasan.

Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap individu wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang.

Demokrasi intelektual adalah tantangan sekaligus peluang harapan. Tantangan karena menuntut kedewasaan berpikir. Peluang dan harapan karena dapat membawa daerah ini menjadi lebih matang secara sosial-politik. Beda pendapat itu niscaya. Tapi tanggung jawab atas setiap narasi yang dilontarkan juga tak kalah penting.

“Banyuwangi tidak butuh lebih banyak suara keras, tapi butuh lebih banyak suara waras!”

Selamat baku debat, wahai para intelektual Banyuwangi. Adu nalar dan gagaaan untuk Banyuwangi Berkemajuan.

Oleh : Joko Wiyono, SH. – Komunitas Pemerhati Banyuwangi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *