Proyek revitalisasi Pasar Induk Banyuwangi dan Asrama Inggrisan yang digarap PT Lince Romauli Raya dengan anggaran APBN senilai Rp190 miliar menuai polemik. Hingga Maret 2025, progres baru mencapai 30 persen, padahal target penyelesaian ditetapkan pada Oktober 2025. Dengan sisa waktu tujuh bulan dan estimasi progres rata-rata hanya 10 persen per bulan, proyek ini berisiko molor atau dipaksakan selesai dengan kualitas yang diragukan.
Lebih dari sekadar keterlambatan, indikasi buruknya manajemen proyek juga tampak dari pengelolaan material. Sejumlah pihak menyoroti material besi yang dibiarkan tergeletak di luar tanpa perlindungan, mengakibatkan korosi yang berpotensi menurunkan kualitas bangunan. Jika hal ini benar terjadi, proyek ini juga bisa menimbulkan kerugian keuangan negara.
Jika memang keterlambatan proyek tidak segera diatasi, pelaksana proyek bisa menghadapi berbagai sanksi, baik administratif maupun pidana.
Sanksi Administratif
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, kontraktor dapat dikenai:
Denda keterlambatan sebesar 1/1000 dari nilai kontrak per hari keterlambatan (Pasal 54 ayat 2).
Pemutusan kontrak jika keterlambatan dianggap signifikan dan tidak ada perbaikan kinerja (Pasal 93 ayat 1).
Blacklist perusahaan sehingga tidak bisa mengikuti proyek pemerintah untuk jangka waktu tertentu.
Sanksi Pidana
Jika keterlambatan disertai dugaan pengurangan kualitas bahan, penyimpangan dana, atau mark-up anggaran, maka kontraktor bisa dijerat dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 7 ayat (1): Penyedia jasa yang tidak menyelesaikan pekerjaan sesuai spesifikasi dalam kontrak dapat dipidana.
Pasal 3: Jika keterlambatan menyebabkan kerugian negara, pelaku dapat dipidana 1 hingga 20 tahun dan denda hingga Rp1 miliar.
Jika ada indikasi kolusi antara kontraktor dan pejabat pemerintah, kasus ini bisa berkembang ke ranah suap dan gratifikasi, yang juga diatur dalam UU Tipikor.
Revitalisasi pasar seharusnya menjadi angin segar bagi para pedagang dan masyarakat Banyuwangi. Namun, dugaan lambannya progres dan buruknya pengelolaan proyek menimbulkan kekhawatiran. Jika proyek ini terus dibiarkan tanpa pengawasan ketat, bukan tidak mungkin akan berakhir seperti banyak proyek lain yang mangkrak atau gagal. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus bertindak sebelum proyek senilai Rp190 miliar ini benar-benar menjadi bom waktu.
Oleh : Joko Wiyono, SH., (Komunitas Pemerhati Banyuwangi)