Jakarta, Actanews.id — Polri menampilkan peragaan lengkap model pelayanan unjuk rasa dalam rangka Apel Kasatwil Tahun 2025 sebagai bentuk kesiapan operasional dan penyegaran standar operasional prosedur (SOP) pengendalian massa yang lebih humanis, modern, dan berbasis hak asasi manusia (HAM). Peragaan tersebut dipimpin langsung oleh Dirsamapta Korsabhara Baharkam Polri, Brigjen Pol Dr. Moh. Ngajib.
Dalam demonstrasi taktis ini, Polri menampilkan skema pengamanan unjuk rasa berbasis lima tingkatan eskalasi — mulai dari situasi tertib hingga kondisi rusuh berat — lengkap dengan langkah kepolisian yang harus diambil pada setiap level. Konsep ini merupakan penyempurnaan model lama yang sebelumnya memiliki 38 tahapan.
Brigjen Ngajib menegaskan bahwa peragaan tersebut tidak hanya berfungsi sebagai simulasi, namun juga sebagai instruksi langsung bahwa seluruh tindakan kepolisian harus dilakukan secara profesional dan sesuai prosedur.
“Setiap tindakan pengamanan unjuk rasa wajib terukur, sesuai SOP, dan menghormati hak-hak warga. Itulah standar pelayanan yang harus diterapkan di seluruh satuan wilayah,” tegasnya.
Lima Tingkat Eskalasi Unjuk Rasa dan Respons Kepolisian
- Tertib
Massa patuh pada imbauan dan situasi tetap kondusif. Polisi menerapkan kehadiran preventif serta penyampaian imbauan lisan. - Kurang Tertib
Terjadi provokasi ringan dan massa mulai mengabaikan imbauan. Pada tahap ini, negosiasi dipimpin Kapolres sebagai pengendali taktis, didukung kendali tangan kosong lunak. - Tidak Tertib
Massa mulai melempar benda, membakar secara lokal, atau menimbulkan luka ringan. Petugas dapat menggunakan kendali tangan kosong keras serta alat pendorong seperti meriam air (AWC). - Rusuh
Muncul kekerasan, perusakan, serangan fisik, atau penutupan jalan masif. Polisi berhak menggunakan alat non-mematikan seperti gas air mata atau senjata tumpul sesuai standar Perkap. - Rusuh Berat
Situasi mengharuskan peran Brimob atau tim Raimas jika PHH Brimob tidak tersedia.
Brigjen Ngajib menjelaskan bahwa penyederhanaan pola dari 38 tahap menjadi lima fase sengaja dilakukan agar lebih mudah diterapkan di lapangan tanpa mengurangi prinsip kehati-hatian dan profesionalitas.
“Respons kepolisian tidak boleh reaktif. Setiap tindakan harus melalui evaluasi dan tahapan yang jelas. Ini bentuk modernisasi pengendalian massa yang akuntabel,” ujarnya.
Peragaan tersebut juga menghadirkan kolaborasi berbagai fungsi kepolisian, antara lain:
- Sabhara sebagai Dalmas awal
- Propam sebagai pengawas tindakan
- Lalu Lintas dalam pengaturan arus kendaraan
- Reskrim untuk identifikasi provokator
- Intelkam dalam penggalangan
- Humas untuk dokumentasi
- Unit K-9 untuk sterilisasi area
- Tim negosiator bersertifikat untuk meredam eskalasi
Polri turut memperlihatkan pemanfaatan teknologi terbaru, seperti helm Dalmas yang dilengkapi konektor suara berjangkauan 2 km serta penggunaan drone untuk mendukung keputusan taktis di lapangan.

Brigjen Ngajib menekankan bahwa pengamanan unjuk rasa bukan semata-mata tindakan penertiban, melainkan bentuk pelayanan publik.
“Massa harus bisa menyampaikan aspirasi dengan aman, dan negara hadir menjaga ketertiban secara humanis namun tegas,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa kemampuan komunikasi, negosiasi, dan kedekatan dengan masyarakat merupakan kunci pengendalian massa yang efektif pada era kini.
“Kapolres harus dikenal oleh masyarakatnya. Semakin kuat hubungan polisi dan warga, semakin kecil risiko eskalasi,” tutup Brigjen Ngajib.














