BANYUWANGI, Actanews.id — Delapan bulan telah berlalu sejak digelarnya acara kebangsaan lintas iman di Candi Manggala Vihara Dhammaharja, Desa Yosomulyo, Kecamatan Gambiran, Banyuwangi, pada malam peringatan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2024. Namun gaung semangat toleransi dan persatuan yang tercipta dalam momen tersebut masih terasa hingga kini.
Acara tersebut menghadirkan tokoh-tokoh lintas agama dan pemuda dari berbagai latar belakang, yang bersatu dalam semangat kebangsaan. Salah satu sosok yang menjadi sorotan malam itu adalah Dr. Ngatawi Al-Zastrow, S.Ag., M.Si., budayawan nasional sekaligus mantan juru bicara Presiden ke-4 RI, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Dengan mengenakan blangkon khasnya, Ngatawi memantik semangat para peserta melalui seruan “Salam Pancasila!” yang disambut penuh antusiasme. Dalam orasinya, ia menegaskan bahwa Pancasila bukan sekadar slogan, melainkan roh dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Pancasila bukan slogan kosong. Ia adalah napas kehidupan bersama, terutama dalam situasi sosial yang penuh tantangan. Dari tempat suci seperti vihara ini, kita tegaskan bahwa Indonesia dibangun atas dasar persaudaraan,” tegas Ngatawi.
Ngatawi juga dikenal sebagai suami dari Arifatul Choiri Fauzi, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dalam Kabinet Merah Putih.
Selain Ngatawi, hadir pula Hakim Said, S.H., Ketua Rumah Kebangsaan Basecamp Karangrejo (RKBK) Banyuwangi. Ia menggarisbawahi pentingnya penghayatan nilai-nilai Pancasila di kalangan generasi muda.
“Generasi muda harus diajak untuk tidak sekadar hafal Pancasila, tapi juga menghayati dan mengamalkannya. RKBK terus mendorong ruang-ruang kebangsaan yang konkret, salah satunya melalui kolaborasi seperti malam ini,” ujar Hakim Said saat mengenang momen kebersamaan itu.
Malam kebangsaan di Vihara Dhammaharja kala itu berlangsung dalam suasana religius yang hangat dan penuh kekeluargaan. Acara tersebut menjadi bukti nyata bahwa keragaman bukanlah penghalang, melainkan kekuatan dalam membangun bangsa.
Kini, delapan bulan berselang, peristiwa tersebut masih dikenang sebagai simbol harmonisasi antarumat dan penguat tekad untuk terus merawat kebhinekaan. Jejaknya menjadi pengingat bahwa semangat kebangsaan bisa tumbuh dari mana saja—dari vihara, dari desa, dari hati yang tulus mencintai Indonesia.