Banyuwangi, actanews.id – Peringatan hari anti korupsi tahun 2023 yang jatuh pada tanggal 9 Desember lalu, telah membangkitkan lagi semangat pemerintah dan masyarakat Indonesia dalam memerangi korupsi.
Hari tersebut harusnya menjadi momentum untuk meningkatkan pemahaman dan mendorong keterlibatan masyarakat dalam menyebarkan nilai-nilai antikorupsi, serta memperkuat sinergi pemberantasan korupsi antara pemerintah dan masyarakat.
Undang-undang nomor 20 tahun 2001, tentang Pemberantasan Korupsi, mengatur tindak pidana korupsi di Indonesia. Korupsi merupakan perilaku tidak pantas dan melawan hukum yang dilakukan oleh pegawai sektor publik dan swasta untuk memperkaya diri sendiri dan orang-orang terdekat.
Undang-undang ini mengklasifikasikan tindak pidana korupsi menjadi 30 jenis yang terbagi dalam 7 kelompok. Di antaranya adalah menyebabkan kerugian keuangan negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan proyek, dan gratifikasi.
Ada tiga faktor yang dapat digunakan sebagai cara pencegahan dan meminimalkan terjadinya korupsi, yaitu digitalisasi, peran serta masyarakat, dan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum (APH).
Penggunaan teknologi digital yang sudah masif di Indonesia dapat menjadi langkah awal dalam mendorong digitalisasi layanan publik untuk mencegah korupsi. Dengan adanya transparansi, simplifikasi, integrasi informasi, dan akuntabilitas yang diperkuat melalui digitalisasi, diharapkan upaya pencegahan korupsi semakin efektif.
Peran serta masyarakat juga memiliki peranan penting dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Masyarakat diharapkan dapat memberikan data atau informasi tentang tindak pidana korupsi, melalui hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab.
Dalam upaya pemberantasan korupsi, sinergitas antara aparat penegak hukum (APH) dan aparat pengawasan internal pemerintahan (APIP) perlu ditingkatkan untuk mempercepat penanganan tindak pidana korupsi. Langkah ini harus didukung oleh penegakan hukum yang tegas dan bahkan represif bagi pelaku korupsi.
Lantas, bagaimana dengan tindak pidana korupsi yang terjadi di Pemerintahan Kabupaten Banyuwangi?
Salah satu bentuk tindak pidana korupsi di Kabupaten Banyuwamgi yang perlu menjadi perhatian publik asalah gratifikasi.
Gratifikasi diatur pada Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang No.31/1999 jo Undang-Undang No.20/2001, yang menyatakan, “Setiap gratifikasi yang diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap sebagai pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya.”
Karena, seiring perkembangan jaman, penggunaan teknologi digital, dalam layanan publik di Kabupaten Banyuwangi juga semakin canggih dan sangat efektif untuk mencegah terjadinya korupsi.
Dalam konteks pengelolaan anggaran pemerintah, ada aspek yang perlu mendapat perhatian khusus diluar digitalisasi, yaitu gratifikasi yang terkait dengan kebijakan dan pengambilan keputusan oleh pejabat pemerintah di luar sistem yang telah ditetapkan.
Gratifikasi adalah sebuah kata yang mungkin terdengar asing di telinga banyak orang, tetapi dampaknya mampu merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Fenomena ini merupakan suatu bentuk perilaku korupsi yang sulit dideteksi, namun berdampak sangat merugikan.
Pemberian gratifikasi ini biasanya berakar pada keinginan para pelakunya atau oknum pejabat pemerintah/ASN untuk memenuhi gaya hidup mewah dan hedonis.
Dampak dari menerima gratifikasi ini sangat merugikan dalam berbagai aspek. Contohnya karena gratifikasi dan kedekatan, seorang oknum pejabat pemerintah memberikan kontrak proyek kepada pelaksana yang tidak memiliki kompetensi yang memadai. Hasilnya, pekerjaan yang dilakukan tidak berkualitas dan seringkali tidak mencapai standar yang diharapkan. Jadi, bukan hanya merugikan pembangunan dan proyek yang dibiayai oleh negara, tetapi juga mencoreng nama baik pemerintahan secara keseluruhan.
Selain itu, dampak buruk gratifikasi ini juga dapat terjadi ketika oknum Aparat Penegak hukum (APH) terlibat. Menerima gratifikasi dapat mempengaruhi keputusan APH dalam menegakkan hukum. Mereka mungkin akan memberikan hukuman yang tidak adil sesuai dengan kepentingan pribadi yang telah mereka terima. Hal ini merusak prinsip keadilan dan menimbulkan keraguan dalam sistem peradilan.
Dalam momen Hari Anti Korupsi Sedunia yang dirayakan secara global tahun 2023, tema “Sinergi Berantas Korupsi, untuk Indonesia Maju” menjadi panggilan kuat bersatu melawan korupsi.
Masyarakat adalah ujung tombak perang melawan korupsi. Dalam sinergi yang kuat antara masyarakat dan aparat penegak hukum, masyarakat dapat memberikan informasi, mengawasi, dan melaporkan tindak korupsi yang terjadi di sekitarnya. Semangat tema “Sinergi Berantas Korupsi, untuk Indonesia Maju” harus diimplementasikan dengan sungguh-sungguh agar korupsi dapat diatasi secara efektif.
Mari kita bersama-sama berkomitmen untuk memerangi korupsi, gratifikasi. Sinergi antara masyarakat dan aparat penegak hukum akan menjadi kekuatan yang kuat dalam menjaga integritas, transparansi, dan keadilan di Banyuwangi.
Oleh :
Agung Surya Wirawan SH.
Forum Rogojampi Bersatu (FRB) – Banyuwangi