banner 728x250
Sastra  

Merekam Wajah Dalam Mesin, Depan Peron Stasiun Kereta Api Gubeng

Oleh : Syafaat

Sudah lama saya tidak naik kereta api. Terlampau lama, hingga aroma gerbong seperti menguap dari sela-sela ingatan saya, seperti kekasih lama yang pernah duduk sebentar lalu pergi tanpa pamit. Bau besi tua, karat yang dicium hujan dan dibiarkan mengering setengah oleh matahari yang enggan—semuanya pernah menjadi puisi diam dalam perjalanan saya. Tapi semua itu kini lenyap, ditelan hari-hari yang berjalan dengan langkah yang sama, seperti jam dinding yang berdetak hanya untuk membuktikan bahwa ia masih hidup.

Hari ini, saya kembali menjadi penumpang. Bukan penonton yang menatap dari pagar stasiun, bukan pula pendengar setia roda besi yang menciptakan irama kesendirian. Hari ini, saya naik kereta api. Dan entah mengapa, hati saya seolah ditarik kembali kepada sesuatu yang dulu terasa sangat akrab: kepergian.

Namun perubahan itu menyambut sejak saya melangkah ke lobi stasiun. Tak ada lagi sapaan hangat dari mulut manusia. Tak ada lagi suara pelan bertanya, “KTP-nya, Pak?”—sebuah pertanyaan yang dulu seperti perkenalan sebelum perjalanan. Kini, wajah saya adalah tiket. Bukan secarik kertas dari loket yang sempat menyentuh tangan seseorang, melainkan wajah ini: yang diam-diam direkam, dicocokkan, lalu disetujui oleh mesin yang tak mengenal cinta, tak mengenal terlambat, dan tak pernah tahu rasanya degup jantung yang gugup.

Saya berdiri di depan scanner, menatap diri sendiri dalam cahaya yang asing dan dingin. Refleksi saya muncul, bukan di cermin, tapi di layar yang menilai saya bukan dari niat, bukan dari doa, tetapi dari simetri wajah dan susunan tulang. Saya melihat diri saya yang lebih tua, dan tanpa bisa menghindar, saya berjumpa kembali dengan segala lelah yang pernah saya simpan rapi. Kerutan-kerutan itu bukan sekadar usia; mereka adalah peta—menuju tempat-tempat yang pernah saya rindukan, atau mungkin, tempat-tempat yang tak pernah saya datangi karena saya terlalu sibuk menjadi seseorang.

Dulu, naik kereta berarti menjauh. Kini, naik kereta berarti diawasi. Diperiksa. Divalidasi oleh sesuatu yang tak pernah saya kenal, tapi perlahan mengatur segala lintasan hidup saya. Tak ada lagi petugas yang menatap mata saya dengan senyum tipis. Tak ada lagi sapaan yang terasa seperti pelukan dari peron. Yang ada hanya bip. Wajah diterima. Pintu terbuka. Masuklah, wahai penumpang tanpa nama.

Tapi saya rindu. Saya rindu suara peluit yang panjang, yang tak hanya mengantar kepergian, tetapi juga merestui perjalanan. Saya rindu dentuman gerbong yang disambung dengan cinta mekanik, suara yang seperti palu waktu yang mengetuk hati saya dan berkata: “Ini perjalanan yang sesungguhnya.”

Saya rindu duduk di antara orang-orang yang tidak saya kenal, tetapi rasanya lebih dekat dari keluarga. Di sana, cinta muncul dalam bentuk sederhana: sepotong roti yang dibagi dua, sebotol air yang ditawarkan tanpa pamrih, tawa yang dilemparkan dari ujung kursi ke ujung lain. Saya pernah percaya bahwa manusia diciptakan bukan hanya untuk sampai, tetapi untuk saling menemani saat menunggu sampai.

Sekarang, semua diam. Semua tenggelam dalam layar. Telinga mereka sibuk dengan musik, tapi hati mereka mungkin sunyi. Dunia tak lagi bicara lewat bibir, hanya lewat notifikasi. Dan saya—saya jadi merasa asing di tengah gerbong yang begitu akrab. Seperti orang yang diundang ke rumah lamanya, tapi tak lagi dikenali oleh tembok dan jendela.

Namun saya tak ingin membenci zaman. Saya hanya ingin mengingat bahwa di tengah sunyi digital ini, saya diberi kesempatan: untuk menatap kembali wajah saya. Untuk mengenali diri yang selama ini saya abaikan. Dan mungkin, itulah cinta yang paling jujur—cinta yang muncul saat kita benar-benar melihat diri sendiri, bukan hanya sebagai bayangan, tapi sebagai keberadaan yang utuh.

Dalam gerbong kelas premium yang longgar, saya mendengar peringatan dari pengeras suara: “Hati-hati, beda kereta, beda tujuan.” Kalimat itu sederhana, tapi hatiku gemetar. Bukankah cinta juga begitu? Kita bisa berangkat dari stasiun yang sama, tapi akhirnya menumpangi kereta yang berbeda. Kita bisa duduk dalam gerbong yang sama, tapi menuju arah yang berlawanan. Dan tak seorang pun bisa memastikan, apakah kita akan turun di stasiun yang sama, atau justru berpisah di tengah jalan—tanpa sempat mengucap selamat tinggal.

Kereta mulai bergerak. Di jendela, bayangan saya muncul lagi—lemah, buram, tapi tetap setia. Di luar, sawah dan perkampungan melesat seperti kenangan yang tak bisa saya tahan. Di dalam, saya duduk tenang. Wajah saya telah disimpan oleh mesin. Tapi hati saya? Ia tetap bebas. Ia tetap mengembara, menyusuri rel-rel kenangan, mencari stasiun bernama rasa.

Dan dalam kebebasan itulah saya tahu: saya masih manusia. Saya masih bisa mengenang, merindukan, dan mencintai. Bahkan dalam sunyi. Bahkan dalam sistem yang mencatat segala gerak tubuh saya. Karena cinta tak bisa dipindai. Rindu tak bisa dikonversi menjadi data. Dan hati, meski dipantau, tetap bisa memilih ke mana ia ingin pulang.

Inilah perjalanan saya hari ini: bukan sekadar berpindah tempat, tapi berpindah rasa. Sebuah selfie yang tak pernah saya unggah, tapi saya simpan dalam kepala—dan lebih dari itu, saya simpan dalam hati. Sebab hanya di sanalah, semua yang saya cintai tetap hidup. Tetap diam. Tapi tak pernah hilang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *