banner 728x250
Sastra  

Kehendak Orang Tua pada Anak dan Pelajaran Tasawuf

Malam minggu, hari ke-22 puasa ramadhan, di tempat kopi lesehan langganan, dalam suasana gerimis, saya dan teman (Husen) ngobrol bertukar pengalaman. Kopi sachetan telah tersaji, dan percakapan kami pun mengalir.

“Pak, sejauh mana sampeyan membebaskan anak untuk memilih sekolah sesuai kehendaknya?” tanya Husen mengawali.

Saya tersenyum, memikirkan sejenak pertanyaannya. “Untuk jenjang dasar, saya masukkan mereka ke madrasah. Saya ingin dasar agama mereka kuat. Tapi setelah MTs, saya bebaskan mereka memilih sendiri. Saya percaya, mereka lebih memahami minat dan kemampuannya.”

Husen mengangguk. “Apa tidak kuatir?” sambungnya.

Saya menghela napas. “Tentu saja ada kekhawatiran. Tapi saya juga yakin, anak adalah amanah, bukan properti. Kita hanya membimbing, selebihnya Tuhan yang menentukan. Saya yakin, Tuhan telah menetapkan peran masing-masing bagi mereka. Yang penting kita membimbingnya dengan baik, Tuhan pasti menolongnya.”

Ya… terkadang Impian orang tua menjadi beban bagi anak. Harapan agar mereka kelak mempunyai pekerjaan atau profesi di masyarakat yang prestisius dan terhormat, sebut saja misal sebagai aparat, dokter, PNS, pegawai BUMN, atau bekerja di tempat bergengsi seolah menjadi standar keberhasilan. Namun, apakah itu ukuran keberhasilan atau bahkan kebahagiaan?

Suatu ketika, anak laki-laki bungsu saya kelas 9 smp, yang disekolah dikenal bandel, namun ia lebih memilih sering mencari takjil gratis dibanding nongkrong “ngabuburit, lalu memberikannya kepada neneknya.

“Ini, ti.. takjil,” sodornya pada neneknya. Ya, mungkin melihat saya sering tidak mampu menyediakan takjil dirumah, jadi dia berinisiatif. Atau suatu saat, saya dengar dia dapat mendamaikan teman-temannya yang terlibat perselisihan.

Mungkin yang dilakukannya dianggap hal sepele, namun dilain sisi bagi saya itu cukup membanggakan, yakni saat anak tumbuh menjadi insan yang peduli dan telah berupaya menjadi bijak. Jadi tidak hanya mengejar prestasi ekskul maupun akademik semata, tapi juga memahami nilai-nilai kemanusiaan.

Sebagai orang tua, kita tentu ingin yang terbaik. Tapi, apakah yang terbaik bagi kita juga yang terbaik bagi mereka? Nyatanya, pelajaran tasawuf perlu, ada konsep “menerima kehendak pribadi dalam ketetapan-Nya.” intinya bagi saya, untuk belajar mulai melepaskan keinginan kita dan merelakan anak menemukan dan menentukan jalannya sendiri, sesuai kehendak-Nya.

Wajib sebagai orang tua, untuk membimbing dan memberikan yang terbaik, selebihnya ber-tawakal. Mereka adalah amanah, bukan properti. Tuhan sudah punya rencana untuk mereka, dan kita harus percaya pada rencana dan peran yang diberikan pada anak-anak kita.

Senoga….Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, memberikan kekuatan hati bagi mereka (anak-anak kita) untuk menghadapi ujian hidup. Jadikan kekurangan kita ini sebagai jalan bagi mereka untuk belajar sabar, bersyukur, dan berusaha dengan ikhlas.

Berikanlah kepada mereka hati yang lapang, jiwa yang penuh kasih, dan akhlak yang mulia.

Jika kita belum mampu mencukupi kebutuhan mereka, maka cukupkanlah mereka dengan kasih sayang-Mu, dan dengan apa yang terbaik menurut-Mu.
Jadikanlah mereka bahagia dunia dan akhirat, dan pertemukan kami kembali dalam ridha dan rahmat-Mu.

Aamiin ya Rabbal ‘Alamin.

Oleh : Joko Wiyono

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *