Oleh :Syafaat
Saya ingin membuka tulisan ini dengan sebaris kalimat yang tak bisa digugat: Saya orang Banyuwangi. Bukan yang lain. Bukan yang seberang. Titik, tanpa koma. Ini bukan soal benci pada tetangga. Bukan pula perkara lupa sopan santun.
Saya tahu cara mengetuk pintu dan tahu pula kapan harus menunduk saat bertamu.
Tapi saya juga tahu halaman rumah saya, letak pintu depannya, dan di mana matahari pagi biasa menyapa terasnya. Dan saya tak pernah sudi jika halaman itu disamakan dengan kebun tetangga, apalagi jika caranya setengah mengejek.
Ambil satu titik sebagai contoh: Baluran.
Secara hukum negara, iya, letaknya di Situbondo. Tapi tahukah engkau,
turis dari Berlin, Surabaya, Kyoto, atau Menteng tak pernah datang membawa peta administratif. Mereka tak datang untuk mengurus sertifikat tanah atau menanyakan siapa camat yang menjabat. Mereka hanya datang membawa kamera, ransel, dan keinginan sederhana: ingin melihat banteng di padang savana. Dan mereka sampai di mana? Di Banyuwangi.
Tiket pesawat mereka bertuliskan Banyuwangi. Tiket kereta juga.
Hotel tempat mereka melepas penat: Banyuwangi. Tempat pertama mereka menyeruput kopi, mencicipi rawon, dan membeli topi rotan: Banyuwangi. Lalu mereka bertanya pada petugas hotel,
“Mas, ada tempat bagus untuk dikunjungi pagi-pagi?”
Dan sang resepsionis menjawab, dengan mata bersinar, “Coba ke Baluran, Pak. Berangkatnya sebelum matahari tinggi, bisa lihat banteng-banteng masih leyeh-leyeh di padang.”
Apakah setelah itu sang wisatawan mengerutkan kening dan bertanya, “Tunggu, Mas. Itu masih Banyuwangi, atau sudah Situbondo?” Tidak. Tentu tidak. Mereka bukan datang untuk membelah peta.
Mereka datang untuk menyatukan kenangan. Sama halnya saat orang Banyuwangi liburan ke Malang. Apakah mereka berkata, “Saya mau ke Batu”?
Tidak. Mereka bilang, “Saya ke Malang,” padahal kaki mereka menginjak Kota Batu, dan sebagian besar waktu mereka habis di sana. Kita pun tak keberatan menyebut “ke Jogja” saat berkunjung ke Borobudur, padahal candi itu tumbuh megah di Magelang. Kenapa? Karena manusia mencintai cerita, bukan koordinat.
Jadi apakah salah, jika Banyuwangi, yang menjadi pintu, perhentian, dan tempat pertama turis membuka peta digital menyebut Baluran sebagai bagian dari pengalaman wisatanya? Jika wisatawan datang, tidur, makan, dan membayar retribusi di Banyuwangi, lalu menyusuri jalan utara sejauh satu jam untuk melihat savana, apakah Banyuwangi sedang melakukan pelanggaran administratif? Saya rasa tidak. Banyuwangi bukan pencuri. Ia hanya berdiri di tempat yang baik, di pinggir keajaiban. Lagipula, Baluran bukan supermarket yang bisa dibatasi tembok dan pintu geser.
Ia taman nasional. Hutan purba. Warisan semesta. Bahkan bukan milik Situbondo, atau Banyuwangi.
Ia milik siapa saja yang berani menempuh perjalanan. Saya teringat satu percakapan kecil di Bandara Blimbingsari. Seorang bule, rambutnya dikepang kecil, bertanya:
“Where is this savanna? I saw it in Lonely Planet. Is it in Banyuwangi or Situbondo?”
Saya tersenyum dan menjawab pelan, “It’s in your heart. As long as you remember Banyuwangi,
it doesn’t matter where the border is.”
Dia tertawa. Entah karena paham. Entah karena tidak peduli. Tapi saya tahu: dia senang. Karena bagi wisatawan,
yang penting bukan letak geografis, tapi arah perasaan. Dan banyak perasaan yang berangkat dari Banyuwangi.
Banyak kisah yang ditulis pertama kali di warung soto depan hotel. Banyak cinta yang mekar saat matahari terbit di Pantai Boom, dan banyak langkah yang memulai petualangan… dari sini.
Maka jika hari ini ada yang mengusulkan: hapus Baluran dari brosur wisata Banyuwangi, hapus dari mulut para pemandu, hapus dari mimpi para pelancong. maka saya akan bertanya dalam hati, benarkah ini soal batas? Ataukah soal gengsi? Sering kali yang paling nyaring soal klaim bukan para kepala dinas.
Tapi mereka yang takut kehilangan tepuk tangan. Takut daerahnya dianggap sepi. Padahal tak ada yang ingin mencuri sorotan. Kami hanya menyebut apa adanya. Bahwa Baluran dekat. Dan bahwa Banyuwangi adalah tempat banyak tamu melewati pagi. Saya tahu, ini bukan perkara benar atau salah. Ini perkara rasa. Tapi jika rasa membuat kita saling mencoret potensi, maka yang terluka bukan hanya satu kabupaten, tapi seluruh impian wisata bersama.
Di dunia hari ini, batas bukan untuk membatasi. Batas adalah panggilan untuk berkolaborasi. Jika kita sibuk menunjuk dan berkata,“Ini bukan wilayahmu,” maka kita sedang lupa:
turis tidak membawa peta politik.
Mereka hanya membawa kamera, dan harapan. Harapan untuk bisa mengingat Banyuwangi, meski jejak kaki mereka sampai ke Baluran.
Maka, jika suatu saat ada yang bertanya kepada saya: “Apakah orang yang datang ke Banyuwangi, lalu ke Baluran, itu melanggar batas administratif?”
Saya akan menjawab dengan senyum dan satu kalimat: Apakah cinta pernah tahu di mana batas administratifnya?