Oleh: Joko Wiyono
Balap sepeda internasional Tour de Banyuwangi Ijen (TdBI) telah menjelma menjadi ikon sport tourism di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Digelar nyaris setiap tahun sejak 2012, mendapatkan lisensi resmi dari Union Cycliste Internationale (UCI),TdBI adalah ajang prestisius yang membawa nama Banyuwangi ke panggung dunia. Namun di tengah kemegahan ini, benarkah TdBI memberi dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat Banyuwangi? Atau sekadar menjadi panggung glamor dengan anggaran puluhan miliar.
Memang tak bisa disangkal, TdBI menghadirkan sorotan media internasional dan nasional. Ratusan atlet, kru, dan jurnalis berbondong-bondong datang ke Banyuwangi. Ocupansi hotel meningkat, pengunjung tempat makan bertambah, jalanan utama bersolek. Citra Banyuwangi sebagai daerah yang “maju dan terbuka” terpantik ke berbagai penjuru tempat.
Data menunjukkan, perputaran uang selama TdBI bisa mencapai miliaran rupiah, utamanya dari sektor akomodasi, konsumsi, dan transportasi. UMKM di sekitar lokasi event pun ikut kecipratan rezeki.
Berdasarkan laporan, event ini menelan anggaran yang tidak sedikit, bisa menelan puluhan miliar rupiah setiap tahunnya. Meski didukung sponsor dan bantuan pusat, APBD Banyuwangi tetap menjadi sumber utama pembiayaan, terutama untuk logistik, promosi, dan infrastruktur pendukung.
Tentu saja efek domino dari event sebesar TdBI belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat secara merata. UMKM yang tak berada di jalur etape nyaris tak terlibat. Begitu juga desa-desa yang tidak dilintasi rute, nyaris tak terdengar gaungnya. TdBI masih elitis, lebih bersandar pada prestise. Sejumlah pelaku usaha kecil bahkan mengaku tidak pernah dilibatkan atau mendapat informasi untuk bisa turut ambil bagian dalam kemeriahan event.
Ironisnya, rakyat kecil ikut menanggung beban anggaran melalui pajak PAD yang bisa dialihkan untuk kebutuhan lebih mendesak,seperti peningkatan fasilaitas sekolah, perbaikan infrastruktur, atau mengoptimalkan layanan kesehatan yang belum merata.
Jika TdBI ingin bertahan dan relevan, maka paradigma penyelenggaraannya harus terus dievaluasi. Tidak lagi hanya menargetkan jumlah negara oeserta, dan jangkauan media, tapi seberapa luas manfaat ekonomi dan sosial yang dirasakan masyarakat.
Beberapa langkah konkret yang mungkin bisa dilakukan antara lain:
Mengintegrasikan UMKM lokal secara sistematis dalam logistik, katering, souvenir, dan promosi
Mendesentralisasi titik-titik event, tidak selalu terpusat di kota, agar desa juga kecipratan dampak ,dan yang ini mungkin sudah dilakukan.
Membangun sistem evaluasi berbasis data, yang mengukur secara jujur sebaran dampak ekonomi.
Pemerintah daerah perlu berani meninjau ulang orientasi kebijakan event besar seperti TdBI. Jangan sampai rakyat hanya dijadikan penonton dari kemewahan. Kemajuan bukan hanya tentang liputan televisi dan publikasi luar negeri, tapi soal berapa banyak warga yang bisa makan lebih layak, sekolah lebih terakomodasi dan biaya terjangkau, dan hidup lebih bermartabat.
Masyarakat Banyuwangi tak butuh sekadar pencitraan. Mereka butuh bukti, bahwa segala program pembangunan, benar-benar menyentuh mereka.