banner 728x250
opini  

Surat Dispendik Terlambat dan Minim Sosialisasi, Indikasi Gagalnya Komitmen Pendidikan di Banyuwangi

Oleh  : Joko Wiyono, SH (Komunitas Pemerhati  Banyuwangi)

Dunia pendidikan seharusnya menjadi ruang yang menjamin transparansi informasi dan kepastian kebijakan. Namun, kenyataannya, Surat Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuwangi yang ditujukan kepada para Kepala SD dan SMP,  tertanggal 11 Juni 2025, Nomor: 400.3.5/4838/429.101/2025 tentang Kebijakan Pengadaan Kebutuhan Personal dan Sumbangan Komite Sekolah terkesan terlambat. Keterlambatan dan minimnya sosialisasi terhadap surat ini bukanlah hanya  persoalan teknis, melainkan bisa dinilai sebagai salah satu indikator kegagalan dalam komitmen dan manajemen untuk memajukan pendidikan dasar di Banyuwangi.

Fenomena ini nyaris berulang setiap tahun, banyak wali murid mengaku baru mengetahui isi kebijakan, saat proses daftar ulang berlangsung dan kebanyakan setelah melakukan daftar ulang. Berkaitan isi surat dalam ketentuan huruf b disebutkan : sekolah memberikan kebebasan kepada orang tua murid mambeli kain seragam sekolah, buku pelajaran, dan peralatan sekolah lainnya di pasar/toko.

Sehingga yang terjadi, dengan tawaran pembelian seragam dan keperluan personal lainnya yang disampaikan oleh pihak koperasi sekolah, ini dalam praktiknya nyaris ditafsirkan  menjadi suatu keharusan, karena ketidaktahuan wali murid. Tidak ada ruang diskusi dan transparansi khusisnya soal pilihan dan harga. Ini tentu menyulitkan orang tua, terlebih dalam kondisi ekonomi masyarakat yang masih belum sepenuhnya pulih.

Intinya, ditengah kemajuan teknologi informasi, institusi pendidikan di Banyuwangi justru tampak “gagap” membangun sistem komunikasi yang antisipatif dan transparan.

Lebih jauh, visi pendidikan kita masih berkutat di masa lalu. Wajib belajar 9 tahun seolah masih menjadi cita-cita, bukan titik awal untuk berkemajuan dibidang  pendidikan. Padahal, di era saat ini, seharusnya jenjang pendidikan lanjutan menengah idealnya juga sudah menjadi prioritas dalam visi,  mengingat tantangan sosial dan ekonomi yang semakin kompleks.

Yang terjadi hingga kini, masyarakat justru masih harus bergelut dengan persoalan klasik,  penerimaan siswa, daftar ulang, hingga urusan sumbangan PSM yang terus menjadi polemik, bahkan isu pungli dan suap dalam penerimaan siswa tetap terdengar.

Seklai lagi, Surat tidak boleh hanya menjadi simbol administratif, melainkan bagian dari sistem layanan pendidikan yang profesional, tepat waktu, antisipatif dan inklusif. Dispendik Banyuwangi tidak cukup hanya menjalankan instruksi, tetapi harus berani menyusun formulasi kebijakan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan daerah dan menjunjung tinggi hak-hak peserta didik.

Meski masih banyak hal, harapannya catatan ini bisa menjadi bahan evaluasi, dan karena memastikan keterbukaan dan keadilan dalam pendidikan bukan hanya tugas teknis, tapi juga komitmen moral kita bersama terhadap masa depan anak-anak bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *