Actanews.id – Pada hari Rabu (18/9/2024), Dr. Ir. H. Guntur Priambodo, MM., yang sebelumnya menjabat sebagai Kadis PU Pengairan Banyuwangi, resmi dilantik sebagai Pj.Sekretaris Daerah Kabupaten Banyuwangi. Sosok ini dikenal sebagai pemimpin yang “nguwongne”(memperlakukan orang dengan baik), santun dan sabar, dan beberapa kali mendapat anugerah penghargaan. “Selamat pak, atas amanah baru sebagai Penjabat Sekkab, Semoga segala urusan dimudahkan dan diberkahi. Aamiin”…
Sebagai wartawan yang 4 tahun meliput di Banyuwangi, saya ikut senang. Walau lucunya, sampai sekarang saya belum punya nomor HP beliau, Diskusi langsung? Baru sekali!
Pelantikan pejabat sudah biasa ramai diberitakan media. Tetapi, di balik pidato resmi, foto-foto seremonial, dan ucapan selamat yang bertaburan, ada satu hal yang sering terlupakan, yakni sumpah jabatan. Ya, sumpah yang diucapkan di depan Tuhan dan rakyat. Tapi, apakah sumpah itu sekadar ritual atau sebenarnya lebih dari itu?
Dalam tradisi Islam, sumpah jabatan memiliki makna yang dalam dan serius. Ambil contoh dari pidato Abu Bakar Siddiq ketika dilantik sebagai khalifah. Dalam pidatonya, Abu Bakar dengan rendah hati mengakui bahwa ia bukanlah yang terbaik. Ia bahkan meminta rakyat untuk mengoreksinya jika suatu hari ia berbuat salah. Lalu datang Umar bin Khattab yang lebih tegas, “Jika aku menyimpang, luruskan aku!”
Spontan, seorang penggembala yang hadir di pelantikan tersebut tiba-tiba mengacungkan pedangnya dan berteriak, “Kalau kau menyimpang, akan kuluruskan dengan pedang ini!” Dan bagaimana respon Umar? Bukannya marah, ia malah tersenyum dan bersyukur, merasa beruntung masih ada rakyat yang berani membela kebenaran.
Sekarang, di Banyuwangi, tentu pejabat tidak sedang dilantik di hadapan penggembala yang membawa pedang tajam. Tetapi, inti dari sumpah itu tetap sama, yakni komitmen terhadap Tuhan dan rakyat. Sumpah jabatan itu bukan sekadar formalitas yang diucapkan dengan khidmat, lalu dilupakan setelah selesai acara. Itu adalah kontrak serius.
Seorang ulama besar, Ibn Manzhur, menyebut sumpah jabatan sebagai “bay’at”. Artinya, sumpah itu adalah transaksi antara pemimpin dan rakyat. Pemimpin menuntut kepatuhan rakyatnya, tetapi rakyat berhak menuntut keadilan, keamanan, dan kesejahteraan. Jadi, sumpah jabatan itu bukan hanya sekadar janji dengan ucapan, namun Itu adalah tanggung jawab pada Tuhan.
Sekarang, coba kita bayangkan sesuatu yang sedikit berbeda. Bagaimana kalau di setiap pelantikan pejabat di Banyuwangi, ada petugas yang mendampingi dengan membawa pedang simbolis atau… mungkin, SS-2 Pindad? Bukan untuk berrempur, tentu saja! Tapi sebagai “pengingat” bahwa rakyat selalu siap meluruskan jalan pemimpin kalau mereka mulai menyimpang. Hehehe… Bisa jadi dengan ancaman simbolis seperti itu, semua pejabat langsung merasa terpicu untuk selalu jujur dan adil !
Ah, makin ngaco saya?!, Tapi poinnya jelas, kita berharap sumpah jabatan yang diucapkan oleh pejabat kita tidak hanya jadi bagian dari seremonial belaka. Melainkan juga menjadi komitmen iman dan tanggungjawab dihadapan Tuhan serta kontrak sosial yang nyata. Karena pada akhirnya, rakyat bukan sekadar penonton, tapi pengawal kebenaran, meskipun mereka tidak membawa pedang atau SS-2 Pindad.
Allah SWT., berfirman dalam QS.Al -Qur’an surat Ali ‘Imran ayat 104: “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Oleh : Joko Tama, Banyuwangi, 19 September 2024.