Banyuwangi – Praktek premanisme dalam bentuk apapun memang tidak bisa dibenarkan. Segala tindakan intimidatif dan kekerasan serta tindakan di luar jalur hukum jelas melanggar prinsip negara hukum. Namun, menyederhanakan masalah sosial hanya sebagai “ulah preman” tanpa menelusuri akar penyebabnya adalah juga kekeliruan, terutama jika praktik itu muncul sebagai reaksi atas kelalaian pelaku usaha dan abainya pengawasan pemerintah.
Lihat saja bagaimana kasus-kasus di lapangan menunjukkan bahwa akar keresahan warga sering kali bermula dari pelanggaran regulasi yang tidak ditangani dengan baik.
Contohnya, pada suatu desa di Kabupaten Banyuwangi, mediasi terbuka terpaksa digelar menyusul keluhan warga terhadap bau menyengat dan potensi pencemaran lingkungan dari kandang sapi milik seorang pengusaha. Permintaan maaf yang disampaikan langsung oleh pemilik. Namun, fakta bahwa warga harus menunggu hingga masalah membesar menunjukkan bahwa sistem deteksi dini dan respons pemerintah berjalan sangat lambat. Beruntung warga masih bijak melakukan protesnya dengan cara bijak, tidak dengan cara-cara premanisme.
Dalam pengawasan usaha hiburan malam, seperti tempat karaoke, arena permainan bilyard, terpantau tetap beroperasi melwvihi jam aturan hingga dini hari, meskipun Perda Banyuwangi no.10/2014 tentang penyelenggaraan tempat hiburan, sudah mengatur batas operasional. Kelonggaran seperti ini bukan hanya bentuk pelanggaran administratif, tetapi juga membuka ruang bagi potensi konflik sosial dan praktik premanisme. Ketika negara membiarkan area abu-abu hukum ini tetap eksis, maka ketegangan horizontal dan rasa tidak aman di masyarakat akan terus tumbuh.
Di Banyuwangi, tambang ilegal juga menjadi potret buram lainnya. Banyak warga dan pegiat lingkungan bersuara lantang tentang kerusakan jalan, debu material, dan pencemaran lingkungan akibat aktivitas tambang . Namun ketika laporan mereka tak kunjung direspons timbul frustrasi. Potensi gesekan antara warga dan pengusaha tambang pun tak terhindarkan. Bukan karena warga tidak ingin tertib hukum, tetapi karena hukum kerap kali tidak hadir untuk mereka.
Dalam konteks ini, pemerintah tidak bisa hanya bersikap sebagai “penonton netral” atau hanya bertindak setelah konflik pecah. Pemerintah harus menjadi pelindung masyarakat dan sekaligus pengendali kepentingan usaha. Setiap pelaku usaha wajib menjalankan aktivitasnya sesuai prosedur perizinan dan regulasi lingkungan, dan pemerintah harus memastikan itu berjalan sejak awal, bukan setelah dampak negatif terjadi.
Peaktek Premanisme tetap tidak dibenarkan. Tapi pembiaran atas pelanggaran regulasi, kelambanan respons terhadap keluhan masyarakat, dan ketimpangan dalam akses keadilan adalah bentuk lain dari “kekerasan“ yang tak kalah berbahaya, dan berpotensi menimbulkan praktek premanisme.
Sudah saatnya pemerintah Banyuwangi, bersama semua elemen pengawasan, mulai dari Satpol PP, dinas teknis, hingga aparat penegak hukum mengambil langkah serius dan terukur. Kehadiran negara tidak boleh hanya dirasakan oleh investor/pemilik modal, tetapi juga oleh masyarakat kecil, khususnya yang hidup di sekitar tempat usaha yang sehari-hari merasakan dampaknya.
Oleh: Joko Wiyono (Komunitas Pemerhati Banyuwangi)