Foto : Joko dan Moh.Husen
Oleh: Joko Wiyono
“Posisi?” Pesan singkat dari Cak Husen itu seolah sudah menjadi kode rahasia di antara kami, pertanda awal dari sebuah diskusi yang tak pernah selesai, percakapan lintas tema yang selalu berujung pada satu hal, yakni menulis.
Cak Husen bukan sekadar teman diskusi. Ia adalah broker ide, penggagas obrolan-obrolan tak biasa di tempat-tempat biasa, provokator yang selalu berhasil memancing saya untuk menuangkan pikiran ke dalam tulisan. Kadang cerpen, kadang artikel, kadang opini yang mencoba kritis namun tetap santun.
“Kritis tapi tidak harus berpihak,” kata Cak Husen suatu ketika, pesan yang terus saya ingat.
Obrolan kami kali inidi terminal Rogojampi, warung kopi langganan yang pemiliknya juga seorang wartawan. Topik, pematiknya? Sederhana, tentang pelaksanaan ibadah haji tahun 2025 yang menurut sebagian warga tak lebih baik dari tahun lalu. Tapi dari yang sederhana itu, percakapan melebar ke mana-mana: budaya syukur masyarakat, warisan, hukum, hingga soal-soal spiritual seperti pawang hujan.
Diantaranya, sebagai advokat, saya pernah mendampingi klien dalam urusan waris. Saat proses hampir selesai berpotensi menang, klien saya justru memutuskan mundur:
“Sudah cukup, ini memang bagian saya, semoga berkah.”
Atau saat pelayanan ibadah haji kurang memuaskan, berkata :
“Alhamdulillah, saya pulang ke tanah air, sehat dan telah melaksanakan Ibadah Haji,”
Sikap nrimo seperti itu adalah watak dan budaya kita, menerima takdir dengan syukur, menjunjung kerukunan di atas segalanya.
Namun, Cak Husen tak puas hanya dengan berbincang. Besoknya, tiba-tiba muncul cerpen baru darinya, terinspirasi dari obrolan di warung. Dan seperti biasa, tanpa diminta, saya pun seperti “terpanggil” untuk menanggapi, bukan karena disuruh, tapi karena “ketularan” semangat menulis. Bagaimana tidak ketularan, setiap rilisan dikirim terlebih dahulu ke saya, yang tentu bukan untuk mengoreksinya.
Kami saling menyulut ide, bukan untuk saling mengoreksi, melainkan agar tak ada pikiran yang mengendap tanpa terbit ke permukaan. Cak Husen memang seperti itu, tak bosan tanya posisi atau mengirimkan tautan tulisan, hanya untuk memastikan saya tetap menulis. Kami tak perlu banyak kata. Cukup satu: Posisi? Maka saya tahu, ada ide yang sedang menunggu disambut.
Dalam dunia literasi, hal terpenting bukan seberapa hebat tulisan kita, tapi seberapa tulus kita ingin berbagi gagasan. Menulis adalah cara mencatat zaman, menyapa pembaca, dan berdialog dengan dunia. Dan teman seperti Cak Husen adalah pengingat bahwa kita tak pernah sendiri di jalan bernama “tulisan”, sebagai Legacy, dan berharap bisa terbaca dan bermanfaat positif.
Dan, jika kelak saat malaikat bertanya, ‘Sudahkah engkau menjalankan peranmu sebagai wartawan, advokat, atau penulis sesuai nilai-nilai Islam?’, semoga kita mampu menjawab dengan tenang : ‘Sampun”