Oleh : Joko Wiyono
Pendidikan merupakan hak dasar setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Pasal 31 UUD 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan negara berkewajiban untuk membiayai pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Namun dalam praktiknya, sistem pendidikan nasional saat ini masih jauh dari ideal. Pendidikan telah berubah dari alat pembebasan menjadi instrumen komersialisasi, yang ironisnya justru membebani rakyat kecil. Biaya operasional sekolah, kontribusi komite, pembelian seragam, hingga masih ditemukannya pungutan tak resmi di lembaga pendidikan negeri, menjadi kenyataan pahit yang bertolak belakang dengan semangat keadilan sosial.
Pendidikan semestinya menjadi jalan pembebasan rakyat dari kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Pendidikan idealnya bukan sekadar proses mentransfer ilmu, tetapi merupakan sarana transformasi sosial dan spiritual yang membentuk manusia berilmu sekaligus beriman,
Telah terjadi adanya kecenderungan liberalisasi pendidikan yang menempatkan rakyat sebagai “konsumen” dan lembaga pendidikan sebagai “penyedia jasa.” Dalam sistem ini, logika “pasar” mengalahkan nilai-nilai keadilan dan pemerataan. Hal ini tampak dalam banyaknya sekolah negeri yang masih menarik biaya dengan berbagai dalih, padahal semestinya negara menanggung seluruh biaya pendidikan dasar dan menengah.
Prinsipnya, pendidikan seharusnya tidak menjadi ladang bisnis, apalagi dalam sistem pendidikan publik (rakyat umum). Negara harus hadir secara nyata dan penuh tanggung jawab dalam menjamin pendidikan berkualitas dan gratis untuk rakyat. Ketika tanggung jawab ini dialihkan pada masyarakat, maka pendidikan hanya akan dapat dinikmati oleh kalangan mampu, dan memperlebar kesenjangan sosial.
Di lapangan, disadari banyak kepala sekolah dan guru menghadapi kesulitan karena alokasi dana dari pemerintah tidak mencukupi kebutuhan operasional. Akibatnya, muncul berbagai bentuk pungutan atas nama “sumbangan sukarela” atau “biaya komite.” Fenomena ini menunjukkan lemahnya manajemen dan keberpihakan anggaran pendidikan. Data BPS tahun-tahun terakhir menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran pendidikan keluarga miskin masih signifikan dan menjadi beban bulanan terbesar setelah kebutuhan pangan.
Pendidikan harus dikembalikan pada khittah-nya sebagai pembebas, bukan penindas. Maka, sistem pendidikan nasional harus berorientasi pada nilai-nilai moral, keadilan sosial, dan pemberdayaan. Negara tidak boleh lepas tangan dan membiarkan rakyat mencari jalan sendiri untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Negara harus menjadikan pendidikan sebagai investasi jangka panjang untuk membangun peradaban bangsa, bukan sekadar proyek anggaran tahunan.
Oleh karena itu, dibutuhkan reformasi kebijakan pendidikan yang holistik, termasuk penguatan peran negara, pengawasan anggaran pendidikan, dan penghapusan segala bentuk pungutan liar di sekolah negeri. Pendidikan harus kembali didekati sebagai amanah, bukan komoditas.
Saatnya negara belajar dari civil society dan menjadikan pendidikan sebagai pelayanan publik yang inklusif dan membebaskan, sebagaimana semangat pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan KH Ahmad Dahlan.