banner 728x250
opini  

Pelantikan di Tempat Sampah, Dari Pelayan Menjadi Cermin Birokrasi Banyuwangi

ASN adalah pelayan masyarakat, kalimat itu sederhana, tanggung jawabnya seberat gunung. Ia sering keluar dari mulut pejabat dengan intonasi tegas, dengan tatapan yang ingin meyakinkan, tetapi seperti doa yang terlalu sering diulang, kalimat itu kehilangan makna. Di banyak meja dengan tumpukan berkas, kalimat itu tinggal hiasan dinding. ASN, alih-alih melayani, duduk seperti penguasa kecil, menunggu rakyat datang dengan segala ketidakberdayaan, lalu dengan satu tanda tangan menentukan arah hidup orang banyak. Sejarah panjang birokrasi kita mengabadikan wajah-wajah itu: wajah yang lebih suka dilayani daripada melayani.

Tetapi Banyuwangi, dalam beberapa tahun terakhir, mencoba berbicara dengan bahasa simbol, sebuah eksperimen kecil: bagaimana sebuah pelantikan bisa berubah menjadi pesan moral, biasanya simbol semacam itu hanya milik panggung seni, tetapi kini ia hadir di ruang birokrasi.

Mujiono, sekarang Wakil Bupati, dulu Kepala Dinas PU CKPP, dilantik sebagai Sekda di halaman Mal Pelayanan Publik, 28 September 2019, tidak di pendopo, tidak di hotel dengan karpet merah meeah, melainkan di jantung kota, tempat rakyat antre panjang mengurus KTP, akta kelahiran, izin usaha, pesan yang ingin dibawa jelas: pejabat tidak boleh hanya duduk di kursi empuk. Ia harus terbiasa berada di tengah denyut rakyat.

Lima tahun kemudian, 22 September 2025, giliran Dr. Ir. H. Guntur Priambodo menerima mandat Sekda. Tempat yang dipilih lebih ekstrem: sebuah lokasi pengelolaan sampah, dengan bau yang tidak bisa ditutup parfum, dengan suasana yang tidak bisa dikemas menjadi mewah. Di situlah ia berdiri, di tengah tumpukan yang sering dianggap jijik, menerima beban tanggung jawab. Simbol itu tidak main-main: birokrasi harus berani turun ke ruang kotor, ruang berbau, ruang rumit, sebab di sanalah rakyat berjuang: dalam persoalan yang tidak wangi, dalam sampah-sampah kehidupan yang harus diurai.

Pertanyaannya sama seperti yang selalu muncul di hati rakyat: apakah simbol itu hanya akan berhenti sebagai simbol? Apakah pelantikan di mal pelayanan publik dan di TPS3R yakni Tempat Pengolahan Sampah berbasis prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle) hanya akan menjadi galeri berita?, atau sungguh-sungguh kompas moral birokrasi. Rakyat tidak lagi percaya pada simbol belaka, mereka menunggu bukti, apakah pelayanan publik benar-benar lebih mudah, apakah birokrasi lebih transparan?, apakah ASN berhenti menjadi penguasa kecil dan benar-benar hadir sebagai pelayan?

Guntur membawa reputasi sebagai pejabat yang konsisten. Ia dikenal disiplin, seperti pesepeda yang tahu betul bahwa kayuhan panjang tidak boleh berhenti di tanjakan. Kini ia harus mengayuh bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk seluruh Banyuwangi. Namun publik tidak buta, mereka tahu ASN menerima gaji tetap, tunjangan, fasilitas, mereka tahu tanda tangan pejabat tidak boleh dijual, mereka tahu kalimat “ASN adalah pelayan masyarakat” bukan kutipan indah, melainkan janji yang harus dibuktikan di meja pelayanan.

Perbandingan dua pelantikan Sekda ini menarik: satu di mal pelayanan publik, satu di tempat pengelolaan sampah, dua-duanya penuh manusia, bedanya: di mal rakyat datang membawa harapan, di TPS rakyat datang membawa sisa kehidupan.
ASN tidak boleh hanya mengurusi dokumen rapi. Mereka juga harus berani masuk ke ruang berbau busuk, tempat masalah riil berserakan, simbol ini mengandung ironi sekaligus harapan.

Ironi, karena birokrasi sering dianggap sampah itu sendiri: tempat orang harus membayar lebih, menunggu lebih lama, menghadapi wajah masam. Harapan, karena dari ruang sampah kita belajar: yang bau bisa diolah, yang kotor bisa dibersihkan, yang rumit bisa ditata.

Apa birokrasi yang humanis?. Bukan sekadar menempelkan senyum di poster, humanis berarti menyadari bahwa setiap orang yang datang membawa beban. Ada yang cemas karena urusannya genting, ada yang lelah karena bolak-balik berhari-hari, ada yang buta huruf dan tidak tahu harus mengisi formulir apa.

ASN yang humanis sadar: satu tanda tangan bisa menentukan apakah seorang anak masuk sekolah, apakah sebuah usaha bisa berjalan, apakah seorang ibu mendapat akses kesehatan. Pelayanan bukan sekadar administrasi. Ia adalah jembatan keadilan sosial, dan jalan itu tidak pernah mudah.

Pelantikan di TPS adalah pengingat keras: birokrasi tidak boleh hanya wangi di laporan tahunan. Ia harus rela berkeringat di lapangan. ASN, pada akhirnya, adalah cermin negara. Jika ASN buruk rupa, negara ikut terlihat buruk, jika ASN lambat, negara dianggap lambat, jika ASN meminta imbalan, negara seolah sedang menjual dirinya.
Pelantikan Guntur bukan sekadar pergantian pejabat. Ia adalah ujian dan janji bahwa ASN adalah pelayan.

Di antara bau sampah yang menyengat itu, rakyat mungkin berbisik dalam hati: jangan biarkan simbol hanyut seperti plastik sekali pakai, jadikan ia kompas.

Hanya dengan begitu birokrasi yang sering dicaci sebagai sampah bisa berubah menjadi pupuk, memberi kesuburan bagi kehidupan bersama.
Pelantikan di TPS ini, pada akhirnya, bukan sekadar sumpah jabatan. Ia adalah cermin: agar birokrasi benar-benar bersih, benar-benar melayani dengan sepenuh hati.

Penulis adalah Ketua Lentera Sastra Banyuwangi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *