banner 728x250
opini  

Pada Lembaga Rehabilitasi Narkoba Banyuwangi, Haruskah Kita Cemas atau Percaya?

Actanews.id   –  Kasus kematian seorang pria di pusat rehabilitasi narkotika di Banyuwangi telah menimbulkan keprihatinan tersendiri di masyarakat. Kematian yang terjadi di tempat yang seharusnya memberikan pemulihan ini justru menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana sesungguhnya praktik rehabilitasi di tempat tersebut. Rumor adanya tekanan bahkan kekerasan fisik dan mental semakin memperkuat persepsi bahwa sistem rehabilitasi ditempat tersebut belum ideal.

Apakah pendekatan rehabilitasi narkotika kita sudah benar-benar mendukung pemulihan pasien, atau justru menjadi sumber trauma baru? Dalam kasus ini, keluarga korban juga menolak dilakukan autopsi, ini semakin menyulitkan upaya untuk mendapatkan gambaran jelas tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Sejatinya, hukum di Indonesia, khususnya melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, telah menegaskan bahwa pecandu narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Pendekatan ini berusaha melihat pecandu sebagai korban yang membutuhkan bantuan untuk pulih, bukan sekadar pelaku kriminal yang layak dijatuhi hukuman penjara. Pasal 127 ayat (3) dari undang-undang tersebut bahkan mewajibkan rehabilitasi bagi mereka yang terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkoba.

Peran penting rehabilitasi sebagai upaya pemulihan fisik, mental, dan sosial kerap diabaikan, sehingga pecandu lebih sering berakhir di penjara yang justru memperburuk kondisi mereka. Pemidanaan yang hanya berfokus pada hukuman tanpa memperhatikan aspek pemulihan jangka panjang, terutama dalam kasus pecandu narkoba, tidak menyelesaikan masalah inti dari ketergantungan.

Kembali, kematian pria di pusat rehabilitasi Banyuwangi membuka ruang untuk kita mengkaji ulang bagaimana seharusnya rehabilitasi narkoba dijalankan. Pusat rehabilitasi seharusnya tidak hanya fokus pada detoksifikasi fisik, tetapi pendekatan yang holistik, mencakup aspek psikologis, sosial, dan spiritual harus benar-benar dijalankan demgan benar. Jika pendekatan ini dilakukan dengan tekanan tidak terukur, tanpa mempertimbangkan kondisi mental pasien, rehabilitasi justru berpotensi menjadi tempat yang berbahaya bagi mereka.

Kasus ini tentu mencerminkan adanya kegagalan dalam sistem pengawasan dan penegakan standar di pusat rehabilitasi, karena sebelumnya juga terjadi kasus kematian pasien. Tanpa adanya transparansi dan pengawasan ketat, pelanggaran terhadap hak-hak pasien rentan terjadi. Pemerintah melalui Badan Narkotika Nasional (BNN) telah menetapkan standar yang ketat, termasuk pembentukan tim terpadu yang terdiri dari dokter, psikolog, dan ahli hukum. Namun, implementasi di lapangan seringkali tidak sesuai dengan harapan.

Sekali lagi, transparansi dan akuntabilitas pusat rehabilitasi harus ditingkatkan untuk meminimalisir pelanggaran terhadap hak-hak pasien yang rentan terjadi.  Pemerintah harus memastikan bahwa lembaga-lembaga ini benar-benar menjalankan fungsinya untuk memulihkan, bukan menghukum atau memperburuk kondisi pasien.

Lebih jauh lagi, penting bagi keluarga pasien untuk terlibat langsung dan aktif dalam proses rehabilitasi, sehingga tercipta kepercayaan bahwa pusat rehabilitasi adalah tempat yang aman dan penuh dukungan.

Oleh : Joko Tama, Bwi, 14/10/2024

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *