Actanews.id – Badan Narkotika Nasional Kabupaten (BNNK) Banyuwangi yang baru saja diresmikan berhasil mencatat prestasi awal dengan menangkap dua pengedar narkoba serta menyita 1,3 ons sabu. Pencapaian ini diapresiasi masyarakat karena mencerminkan pentingnya kehadiran lembaga ini dalam memerangi narkoba. Namun, di balik kesuksesan ini, ada pertanyaan besar yang perlu dijawab: bagaimana dengan peredaran minuman keras?
Minuman keras (miras), atau khamr dalam pandangan agama Islam, dilarang keras karena dampaknya yang merusak akal sehat dan keharmonisan sosial. Al-Qur’an dengan tegas menyatakan dalam Surah Al-Maidah ayat 90: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung.” Bahaya khamr tidak hanya disampaikan dalam ayat-ayat suci, tetapi juga ditegaskan dalam berbagai hadits yang menganggapnya sebagai “induk dari segala keburukan.”
Namun, meski berbagai aturan moral dan agama sudah jelas, peredaran minuman keras di Kabupaten Banyuwangi tampaknya masih berjalan leluasa. Beberapa kali terjadi konflik sosial akibat pembukaan outlet-outlet penjual miras di beberapa kecamatan, tetapi bisnis ini tetap berkembang dengan omzet diduga mencapai puluhan juta rupiah per bulan per outlet. Ironisnya, di tengah gencarnya upaya BNNK Banyuwangi memberantas narkoba, Disisi lain, miras yang jelas-jelas juga merusak kesehatan dan tatanan sosial seolah luput dari perhatian pemerintah (Bupati) selama beberapa tahun terakhir.
Masalah miras ini bukan sekadar persoalan moral dan agama. Ini adalah ancaman nyata terhadap generasi muda Banyuwangi. Dampak destruktif miras terhadap kesehatan fisik, mental, serta keterlibatan dalam kejahatan sosial tidak bisa dianggap enteng. Remaja yang terjerumus dalam miras sering kali kehilangan arah, terjebak dalam masalah sosial yang lebih besar, seperti tindak kekerasan, kriminalitas, hingga ketergantungan.
Meski sudah ada regulasi yang mengatur peredaran miras, seperti Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Banyuwangi Nomor 12 Tahun 2015 dan Perubahan atas Perda tersebut dalam Perda Nomor 1 Tahun 2020, serta Peraturan Bupati Nomor 3 Tahun 2022, tindakan pemerintah dalam implementasinya masih terasa setengah hati. Apakah regulasi ini hanya menjadi sekadar aturan di atas kertas tanpa dampak nyata di lapangan?
Argumen bahwa pajak dari penjualan miras digunakan untuk pendidikan dan program-program sosial lainnya seolah menjadi pembenaran. Namun, apakah ini keputusan yang bijaksana untuk jangka panjang? Mengorbankan kesehatan generasi muda demi pendapatan pajak adalah kebijakan yang sangat berbahaya dan tidak bertanggung jawab. Seberapa besar nilai pendidikan yang bisa kita bangun jika masyarakat yang dididik justru rusak oleh dampak miras?
DPRD Banyuwangi, yang baru dilantik dengan penuh harapan, memiliki peran besar untuk memastikan bahwa peraturan terkait miras dijalankan dengan ketat. Mereka harus menjadi pilar dalam memastikan bahwa perlindungan masyarakat tidak dikorbankan demi keuntungan ekonomi jangka pendek. Jangan sampai DPRD terjebak dalam formalitas dan gagal menjadi agen perubahan yang dibutuhkan masyarakat.
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi (Bupati) harus segera mengambil tindakan tegas. Perlindungan masyarakat harus menjadi prioritas, tidak hanya dari ancaman narkoba, tetapi juga dari bahaya peredaran minuman keras (miras) yang semakin meresahkan. Langkah konkret yang bisa dilakukan meliputi peninjauan ulang izin usaha, evaluasi dampak lingkungan dari outlet penjual miras, memperketat persyaratan perizinan, serta pengawasan yang lebih ketat. Apabila ditemukan ketidaksesuaian, langkah penutupan harus segera dilakukan.
Jika pemerintah (Bupati), DPRD dan semua elemen masyarakat tidak bertindak cepat, kerusakan sosial akibat miras akan terus meluas dan pemulihannya, baik secara sosial maupun ekonomi akan sangat sulit.
Oleh : Joko Tama, 13 September 2024