Oleh: Syafaat
Delapan puluh tahun Indonesia merdeka bukan sekadar angka kronologis. Angka ini menandai perjalanan panjang bangsa yang dibangun atas doa, pengorbanan, dan iman yang diuji dalam darah para pejuang. Kemerdekaan bukan hadiah yang diterima begitu saja, bukan bendera yang dikibarkan dalam seremonial rutin, atau upacara yang meriah. Ia merupakan amanah, yang diwariskan dari generasi ke generasi, dan harus dijaga dengan kesadaran historis serta kesadaran moral.
Dari perspektif historis, delapan puluh tahun kemerdekaan merupakan waktu yang cukup untuk menorehkan jejak. Jejak ini tidak hanya berupa kemajuan pembangunan atau angka statistik ekonomi, tetapi juga luka yang masih terasa, doa yang tetap bergetar, dan nilai-nilai kolektif yang membentuk karakter bangsa. Ketika bangsa ini berkata, kami merdeka, itu bukan sekadar jargon politik. Ungkapan itu adalah manifestasi iman kolektif, sebagaimana seorang kekasih mengungkapkan cintanya dengan keberanian yang naif, namun tulus.
Sejarah mencatat bahwa para pemuda 1945 bergerak dengan kesadaran yang luar biasa. Mereka tidak menunggu izin dari tokoh-tokoh tua, meskipun tetap menghormati mereka. Soekarno masih menimbang, Hatta masih menakar, Jepang belum menyerah sepenuhnya. Namun para pemuda ini bergerak berdasarkan intuisi sejarah dan keberanian moral yang mendekati iman: keberanian untuk bertindak, meski berisiko salah. Proklamasi kemerdekaan, dengan demikian, lahir dari kolektivitas rakyat, bukan dari ego pemimpin semata.
Delapan puluh tahun kemudian, kemerdekaan tetap dirayakan, tetapi bentuk perayaannya beragam. Ada upacara resmi, lomba, pertunjukan seni, dan berbagai ritual simbolik. Fenomena ini menunjukkan bahwa kemerdekaan juga merupakan konstruksi sosial yang dinamis: ia dapat berubah bentuk sesuai konteks budaya dan sosial, tetapi substansinya tetap doa dan tanggung jawab.
Bulan Agustus selalu mengandung paradoks. Di satu sisi, simbol-simbol kebangsaan dikibarkan dengan khidmat; di sisi lain, rakyat bersuara menuntut keadilan, seperti demonstrasi buruh, protes petani, dan penolakan kenaikan pajak. Situasi ini menunjukkan bahwa kemerdekaan adalah hak sekaligus tanggung jawab. Sebagai hak, kemerdekaan memberi ruang untuk berpartisipasi; sebagai tanggung jawab, ia menuntut pengelolaan yang adil dan berlandaskan moral.
Dari perspektif sosial, bangsa ini berbeda dari banyak negara lain. Kemerdekaan Indonesia tidak datang sebagai hadiah dari pihak asing atau melalui kompromi politik semata, tetapi melalui perjuangan rakyat kecil—petani, buruh, nelayan—yang mengorbankan nyawa dan waktu. Mereka bukan figur yang tercatat dalam buku sejarah formal, tetapi doa dan pengorbanan mereka melekat pada tanah dan membentuk identitas nasional.
Pertanyaan kritis yang muncul adalah: sejauh mana generasi sekarang mampu menjaga amanah ini? Banyak yang menganggap kemerdekaan sebagai hak yang dapat dinikmati tanpa tanggung jawab moral. Padahal, kemerdekaan adalah amanah yang harus dirawat, sama seperti cinta. Tanpa kesadaran dan tindakan yang konsisten, doa para pendahulu bisa terabaikan, dan nilai kemerdekaan menjadi sekadar simbol formal tanpa substansi.
Para pemuda 45 bertindak bukan untuk ambisi politik atau kekuasaan, tetapi berdasarkan iman dan tanggung jawab moral terhadap tanah air. Mereka memahami bahwa kemerdekaan adalah tindakan iman: tindakan nyata yang diwujudkan melalui keberanian, disiplin, dan doa. Iman ini harus diperbarui secara kolektif oleh setiap generasi, agar substansi kemerdekaan tetap hidup.
Delapan puluh tahun setelah proklamasi, bendera merah putih masih berkibar, lagu kebangsaan masih dinyanyikan. Namun yang lebih penting dari semua simbol ini adalah doa: doa agar bangsa tetap teguh, doa agar generasi tidak mengkhianati pengorbanan para pejuang, dan doa agar moralitas sosial tetap menjadi dasar pembangunan bangsa.
Merdeka bukan hadiah dari Belanda atau Jepang. Merdeka adalah doa yang jatuh dari langit dan dijaga oleh darah di bumi. Tugas generasi sekarang adalah memastikan doa itu tetap hidup melalui integritas, kesadaran sejarah, dan tindakan nyata yang berlandaskan moralitas dan spiritualitas.
Merdeka, seperti cinta, adalah paradoks: ia memberi kebanggaan sekaligus menuntut refleksi. Bangga karena lahir dari perjuangan yang tulus; malu ketika lupa atau mengkhianati nilai-nilai tersebut. Setiap upacara, lomba, dan ritual nasional menjadi pengingat untuk mempertahankan amanah ini.
Kemerdekaan adalah darah yang mengalir di akar pohon, iman yang tertanam dalam napas anak-anak, dan doa yang berbisik di langit malam. Ia adalah pengingat bahwa tanah ini suci, hidup ini singkat, dan setiap individu adalah bagian dari sejarah yang lebih besar daripada diri sendiri.
Delapan puluh tahun merdeka bukan sekadar perayaan; ia adalah refleksi moral, tanggung jawab kolektif, dan amanah spiritual yang tidak boleh diabaikan. Ketika bendera berkibar, jangan hanya lihat kain yang bergelombang; lihat juga pengorbanan yang menetes dari tubuh para pejuang. Ketika lagu kebangsaan dinyanyikan, dengarkan doa yang tersembunyi di setiap nada. Ketika masyarakat tertawa dalam lomba-lomba Agustus, ingatlah bahwa tawa itu pernah dibayar dengan airmata panjang dan pengorbanan besar.
Merdeka adalah cinta. Cinta yang dibayar dengan darah. Cinta yang diwariskan oleh mereka yang tak pernah kita kenal. Cinta yang mengikat kita dengan tanah, sejarah, dan Tuhan. Dan tugas kita hanyalah satu: menjaga, merawat, dan menghidupi doa itu dalam setiap tindakan.