banner 728x250
opini  

Menyusuri Gugusan Karang, Merayakan Kata: Studi Sastra Lentera Banyuwangi di Green Island

Pesanggaran, Gugusan pulau-pulau kecil yang menjulang dari Laut Selatan menjadi saksi bisu semangat para pencinta literasi Banyuwangi. Komunitas Lentera Sastra Banyuwangi—yang akrab disapa Lensa Banyuwangi—menggelar Studi Literasi dan Sastra di Green Island, sebuah destinasi eksotis nan terpencil di Dusun Pancer, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Sabtu (02/08/2025)

Perjalanan menuju lokasi ini bukan perkara mudah. Dari pusat kota Banyuwangi, rombongan menempuh jarak sekitar 70 kilometer ke selatan. Setelah memasuki kawasan Pantai Mustika dan membeli tiket masuk, peserta melanjutkan perjalanan menuju Pelabuhan Ikan Pancer. Di sanalah, kapal-kapal nelayan menjadi satu-satunya moda transportasi menuju gugusan karang yang tersebar di perairan biru jernih itu.

Bagi sebagian peserta yang belum terbiasa, gelombang Laut Selatan memang bisa mengguncang keyakinan. Ombaknya tinggi dan liar, seolah menantang siapa pun yang berani menyusuri rutenya. Namun di balik rasa was-was itu, justru muncul pemahaman mendalam: inilah keseharian para nelayan. Rumah mereka bukan di darat, tapi di atas gelombang. Dan hari itu, rombongan Lentera Sastra menyelami jejak mereka—dengan pelampung, keberanian, dan semangat literasi.

Ketika kaki menapak gugusan karang Green Island, segala rasa takut seketika runtuh oleh panorama yang memukau. Pulau-pulau kecil terbentang seperti serpihan surga. Di kejauhan, Pulau Merah tampak samar-samar, terapung dalam kabut biru. Dari puncak Green Island—yang harus didaki cukup terjal—hamparan laut dan pulau tampak seperti lukisan hidup. Di sanalah, keheningan dan angin bersinergi menjadi puisi. Tak sekadar menikmati alam, kegiatan ini menjadi ruang refleksi dan eksplorasi. Beberapa peserta membacakan puisi, menulis catatan perjalanan, dan merekam video pendek bertema literasi. Ada yang menulis di atas karang, ada pula yang merenung di balik rimbun cemara laut. Bagi mereka, keindahan bukan sekadar latar; ia adalah inspirasi yang datang secara langsung—bukan lewat konten, bukan dari layar. Menurut komandan Lentera Sastra Banyuwangi, kegiatan ini dirancang untuk mengajak para peserta—kebanyakan berasal dari lingkungan Kementerian Agama—untuk mengalami langsung proses kreatif yang lahir dari alam. “Banyuwangi dianugerahi lanskap yang luar biasa. Sayang kalau kita hanya menulis di ruang kerja tanpa menyentuh langsung denyut alamnya. Di tempat seperti ini, inspirasi datang tanpa dipaksa,” ungkapnya.

Green Island menjadi semacam ruang kelas terbuka, tempat huruf dan ombak berdialog. Sore itu, para peserta duduk melingkar, membacakan puisi, bercerita, dan mendiskusikan naskah yang sedang digarap. Mereka berbagi kisah: tentang kampung halaman, tentang makna kata, tentang cita-cita menjadi penulis yang jujur dan tidak latah mengikuti tren.

Sorenya, ketika kembali ke Pantai Mustika, bulan sudah terlihat separuh menggantung di langit. Beberapa peserta masih terduduk di tepi pantai, menulis catatan-catatan kecil. Mungkin akan jadi puisi, mungkin jadi cerita pendek, mungkin hanya jadi pengingat bahwa mereka pernah menulis bersama di gugusan karang yang nyaris terlupakan peta wisata. Kegiatan ini menjadi pengingat, bahwa menulis bukan sekadar aktivitas individual yang terkurung di balik meja dan lembar kerja. Ia bisa—dan semestinya—berasal dari perjumpaan: dengan alam, dengan sesama, dan dengan suara hati sendiri.

oleh : Syafaat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *