banner 728x250
opini  

Mencoba Apresiasi dari Substansi dan Perjalanan Panjang KUHP Nasional

Oleh: Joko Wiyono, SH.

BANYUWANGI — Sebuah diskusi publik yang digelar di salah satu kantor hukum di Banyuwangi pada Sabtu (26/7/2025) menghidupkan kembali semangat intelektual dan refleksi kritis terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nasional yang baru. Tidak hanya menjadi forum tukar gagasan, diskusi yanh di sebut “sinau bareng”, ini juga menyimpulkan bagaimana KUHP baru dipahami sebagai simbol kedaulatan hukum bangsa yang berdaulat, demokratis, dan berkarakter.

Dalam forum tersebut, salah satu pandangan menarik yang mengemuka adalah kenyataan bahwa hampir tidak ada negara di dunia yang mampu menyusun kodifikasi hukum pidananya secara cepat setelah merdeka. Belanda, misalnya, baru menyusun kodifikasi hukum pidananya 70 tahun setelah lepas dari kekuasaan Prancis. Indonesia justru menuntaskan proyek kodifikasi hukum pidananya dalam waktu 59 tahun sejak dimulainya perumusan pada 1963, hingga disahkan pada 2022.

Proses panjang ini mencerminkan bukan hanya kehati-hatian, tetapi juga ketelitian dalam menakar nilai, norma, dan semangat zaman. KUHP baru bukan sekadar dokumen hukum, melainkan juga narasi ideologis dan sejarah hukum Indonesia yang ingin mandiri dari bayang-bayang kolonial.

Salah satu keunggulan KUHP nasional terletak pada perubahan paradigma besar dalam sistem hukum pidana. Dari struktur tiga buku warisan kolonial, kini disederhanakan menjadi dua buku yang lebih ringkas dan aplikatif. Substansinya pun melangkah lebih maju, menempatkan keadilan restoratif, korektif, dan rehabilitatif sebagai pilar utama penegakan hukum. (Buku Tinjauan KUHP 2023-Kejati DK Jakarta)

Pendekatan ini membawa perubahan signifikan: pelaku, korban, dan masyarakat kini diperlakukan sebagai subjek yang didengar dan dilindungi hak-haknya. KUHP baru juga membuka jalan bagi alternatif pemidanaan seperti kerja sosial dan pengawasan, serta pendekatan damai untuk pelanggaran ringan. Penjara tidak lagi menjadi solusi tunggal.

Pasal 54 KUHP bahkan secara eksplisit menghadirkan standard of sentencing sebagai pedoman pemidanaan. Sebanyak 11 parameter disiapkan untuk membimbing hakim agar putusan tidak bersifat subjektif atau sewenang-wenang. Mulai dari tingkat kesalahan, dampak sosial, hingga nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, semua dijadikan fondasi etik sekaligus teknis dalam menjatuhkan sanksi.

KUHP baru juga memberi tempat bagi hukum adat dan nilai lokal dalam kerangka yang tetap berpegang pada konstitusi, hak asasi manusia, dan prinsip hukum internasional. Asas keseimbangan ini menjadikan hukum pidana Indonesia lebih kontekstual tanpa kehilangan arah globalnya.

Belgia disebut sebagai negara yang berhasil menerapkan dual-track system dalam keadilan restoratif, di mana proses hukum dan perdamaian berjalan beriringan. Konsep ini menempatkan keadilan sosial di atas pembalasan semata, dan Indonesia bisa mengambil pelajaran penting dari praktik tersebut.

KUHP nasional ini akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026. Masa transisi menjadi krusial, mengingat saat ini sistem peradilan masih berpedoman pada KUHAP lama. RUU KUHAP sebagai pendamping KUHP juga belum rampung. Ketidakseimbangan ini berisiko menimbulkan ketidakharmonisan dalam pelaksanaan hukum acara pidana yang progresif, maka Keselarasan KUHAP dengan KUHP tentu  diperlukan.

Diskusi publik di Kantor Hukum Banyuwangi
Diskusi publik di Kantor Hukum Banyuwangi

Tantangan implementasi KUHP baru tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga kultural dan institusional. Edukasi publik, pelatihan aparat penegak hukum, hingga reformasi birokrasi peradilan adalah kunci suksesnya penerapan KUHP agar tidak berhenti pada tataran dokumen, tetapi menjelma menjadi sistem keadilan yang berkarakter  watak bangsa Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *