Actanews.id – Saya menerima pesan WA, undangan dari rekan pengurus ISNU cabang Banyuwangi, untuk menghadiri acara Launching dan Bedah Buku “Menggahar Cintamani Banyuwangi” di auditorium Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi. Buku ini ditulis oleh Samsudin Adlawi (kang Sam), seorang penulis kawakan dan Direktur Jawa Pos Radar Banyuwangi yang dikenal dengan gaya bahasa sastranya yang khas dan mengalir. Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan yang sebelumnya telah dipublikasikan di harian Jawa Pos Radar Banyuwangi.
Sebagai seseorang yang sudah lama mengenal Kang Sam, selain sebagai Direktur Jawa Pos Radar Banyuwangi, beberapa jabatan pernah sandangnya diantaranya Ketua BAZNAS. juga Ketua DKB Banyuwangi, hingga dipastikan bahwa kehadiran sosoknya tidak bisa dilewatkan begitu saja oleh masyarakat Banyuwangi.
Saya sebenarnya sudah membaca hampir semua tulisan Kang Sam di harian cetak yang dipimpinnya, yang saya tangkap adalah bagaimana sang penulis ini dapat menulis dengan genre dinamis yang ketika tulisannya sedikit nylekit tidak menimbulkan sakit, bahkan dapat membuat tersenyum bagi yang merasa tercubit.
Tulisan-tulisan Kang Sam selalu menyajikan kritik sosial yang tajam namun dibalut dengan gaya bahasa yang santun. Kritik yang dilontarkan oleh Kang Sam ibarat permainan bola bekel—semakin keras terbanting, semakin tinggi pantulannya. Sayangnya, tidak semua tulisannya mampu mencapai pantulan yang tinggi tersebut.
Acara bedah buku ini juga menjadi semakin menarik dengan hadirnya para pembicara yang tak kalah hebat di bidangnya. Mereka adalah H. Sugihartoyo, S.H., M.H., Ketua Perpenas 17 Agustus 1945, yang saya kenal sebagai sosok motivator ulung; Dr. Kurniyatul Faizah, Wakil Ketua Dewan Ahli PC ISNU Kabupaten Banyuwangi dan dosen di IAI Ibrahimy Genteng; serta Kan Son (Hasan Basri), Ketua DKB Banyuwangi.
Kang Sam, dengan keahliannya menulis, mampu menyampaikan kritik tanpa menimbulkan sakit hati bagi yang merasa tersindir. Justru, tulisannya sering kali memancing senyum dan renungan mendalam. Inilah yang membuat karyanya begitu istimewa dan dinantikan oleh pembaca dari berbagai kalangan.
Sebagai tambahan, saya teringat kata-kata Pak Gik, bahwa ilmu tertinggi dari seseorang adalah kesabaran dan disiplin, dan Kang Sam telah mencapai keduanya. Menurut beliau, Kang Sam juga telah menemukan ilmu ikhlas, yang tidak mudah dicapai oleh banyak orang. Pandangan ini tentu menambah kekaguman saya terhadap Kang Sam, bukan hanya sebagai penulis, tetapi juga sebagai pribadi yang bijaksana dan inspiratif.
Acara ini bukan hanya sekadar bedah buku, tetapi juga menjadi ajang refleksi bagi kita semua, terutama dalam memahami dan menghargai karya sastra yang mampu memberikan pandangan kritis namun tetap santun. Saya berharap, lebih banyak penulis Banyuwangi yang muncul dengan karya-karya yang dapat menjadi referensi berharga tentang Banyuwangi.
Catatan ; H. Syafaat (Ketua Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi).
Untag Banyuwangi, Jumat 2/08/2024.