Kubangan bekas galian C yang terletak di Desa Badean, Kecamatan Blimbingsari, Banyuwangi, tepat di depan destinasi wisata AIL dan tak jauh dari Bandara Blimbingsari, menarik dibahas karena video pendek beredar di platform Facebook, dan telah menjadi sorotan publik. Dalam video itu, seseorang mengklaim menyatakan bahwa kubangan tersebut sangat bermanfaat untuk penampungan air dan mencegah terjadinya banjir, sekaligus dapat dimanfaatkan untuk ditanami hingga dapat meningkatkan ekonomi warga miskin. Narasi ini kemudian ditujukan kepada pihak-pihak seperti IWB dan Pasopati, yang dinilainya perlu memperhatikan kondisi real dilapangan. Namun, benarkah kubangan bekas galian tambang itu adalah solusi pencegahan bencana banjir?
Hujan deras yang mengguyur daerah desa Badean serta wilayah baratnya, kerap berpotensi menyebabkan air meluap dan dapat menggenangi permukiman warga. Namun, beberapa upaya telah dilakukan dengan membuat saluran drainase (selokan) yang berdimensi cukup luas di pinggir jalan pemukiman warga. Bahkan mahasiswa praktik, juga melakukan pembuatan biopori di titik-titik genangan air.
Sedangkan untuk menyatakan kubangan bekas galian tambang itu adalah sebagai penampungan dan solusi pencegah banjir, atau menyatakan wilayah rawan banjir, apa penyebabnya hingga untuk menentukan solusinya, tentu diperlukan kajian komprehensif dari berbagai aspek dari pihak yang berkompeten, melalui kajian diantaranya dibidang Hidrologi (Menganalisis data curah hujan, intensitas hujan ekstrem, kapasitas sungai, dan sistem drainase), Geospasial dan Topografi (Menelaah kemiringan lahan, jenis tanah, dan tata guna lahan), Data Historis Kejadian Banjir (Melacak frekuensi, lokasi genangan, dan dampak banjir masa lalu), serta Kajian Tata Ruang dan Lingkungan (Mengkaji kesesuaian tata ruang, alih fungsi lahan, dan dampak pertambangan). Tanpa beberapa kajian di atas, menyimpulkan bahwa kubangan tambang menjadi solusi utama pencegah banjir sebagai penampungan adalah hanya pembenaran sepihak.
Kembali ke soal kubangan dampak penambangan tersebut, perlu diingat lagi bahwa setiap aktivitas galian C wajib diikuti dengan reklamasi dan penataan lingkungan. Hal ini tegas diatur dalam Undang-undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 99-101 mewajibkan reklamasi dan pasca tambang, dikuatkan dalam PP No.96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan dalam Pasal 42-54 mengatur kewajiban dan sanksi administratif. Prinsipnya, langkah reklamasi yang benar dan ideal meliputi : penataan dan pengurugan kembali lubang/kubangan bekas galian dan penanaman vegetasi untuk mengurangi erosi, juga pengelolaan air dan limbah tambang.
Lain hal, jika terbukti aktivitas tambang dilakukan tanpa IUP (Izin Usaha Pertambangan), maka termasuk dalam kategori PETI (Pertambangan Tanpa Izin). Hal ini melanggar Pasal 158 UU No.3 Tahun 2020, dengan Ancaman penjara maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar.
Bahkan, jika sampai tambang menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan, maka telah terdapat Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, pada Pasal 69 dan Pasal 98 mengatur larangan dan sanksi pidana bagi pelaku perusakan lingkungan.
Jika bicara soal hak masyarakat, siapapun dijamin, sesuai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Pasal 27 ayat (1): “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Sehingga, setiap orang yang cakap hukum memiliki hak dan bahkan kewajiban melaporkan tambang ilegal, sekaligus melakukan advokasi lingkungan serta mendukung kegiatan reklamasi dan pemulihan ekosistem.
Jika narasi kubangan/lubang bekas tambang sebagai solusi pencegah banjir tanpa kajian ilmiah ini diterima begitu saja, maka dikuatirkan praktik pertambangan liar akan terus terjadi tanpa reklamasi yang benar dan ideal, dengan dalih “manfaat ekologis (pencegah banjir) dan ekonomi”. Padahal, kenyataan yang terjadi adalah lahan produktif semakin menyusut, hilangnya vegetasi tanaman pangan dan rusaknya ekologi (gangguan atau perubahan pada keseimbangan lingkungan alam).
Lantas bagiamana Peran Pemerintah Banyuwangi?
Pemerintah daerah tentu wajib menyusun tata ruang agar aman banjir, menyediakan anggaran penanggulangan bencana, dan selalu berkoordinasi dengan instansi terkait untuk mitigasi dan pemulihan. Keberadaan Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 2 Tahun 2024 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2024-2044, juga menjadi salah satu rujukan dalam proses pengurusan perijinan alih fungsi tanah hingga ijin lokasi pertambangan.
Sudah saatnya Pemkab Banyuwangi bekerja profesional, tegak pada aturan dan kebijakan, berani melaksanakan tata kelola lingkungan dan pertambangan berbasis aturan hukum dan hasil kajian yang benar, demi keberlanjutan dan kemaslahatan bagi generasi kini dan mendatang.
Oleh : Joko Wiyono, SH. – Komunitas Pemerhati Banyuwangi (KPB)