Oleh: Joko Wiyono
Banyuwangi adalah contoh ironi dalam pembangunan daerah. Kaya sumber daya alam, dari tambang emas, pertanian ekspor, hingga destinasi wisata kelas dunia, tetapi kini menghadapi defisit anggaran dan terpaksa berutang 490 miliar diperiode 2024-2025 untuk menutup belanja publik. Di balik narasi sukses pembangunan, ada kegagalan struktural yang tak bisa disembunyikan dengan festival atau slogan digital
Dalam Rancangan APBD 2024, pemerintah daerah mencatat defisit yang ditutup melalui pinjaman dari. Secara teori, defisit bisa menjadi instrumen ekspansi fiskal. Namun, bila defisit berlangsung terus-menerus tanpa peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), itu bukan strategi pembangunan, melainkan gejala salah urus fiskal (pendapatan)
Padahal potensi ekonomi Banyuwangi tidak main-main. Tambang emas gunung tumpang pitu yang dikelola PT Bumi Suksesindo, hasil pertanian dan hortikultura ekspor seperti buah naga dan mangga, serta pariwisata yang rutin masuk daftar destinasi unggulan nasional. Sayangnya, kontribusi sektor-sektor tersebut terhadap PAD masih kecil. Royalti tambang lebih banyak ke pusat. Sektor pariwisata dan perdagangan tak kunjung terdongkrak karena lemahnya hilirisasi dan kebocoran retribusi.
Sebagian menyalahkan menurunnya Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pusat. Tetapi ketergantungan semacam ini justru menunjukkan lemahnya strategi kemandirian fiskal. Alih-alih memperkuat ekonomi lokal dan menggali potensi pajak daerah, pemerintah tampak lebih sibuk dengan proyek citra dan peluncuran program-program populer.
Selama dua periode kepemimpinan Ipuk Fiestiandani, Banyuwangi banyak diguyur branding: Smart Kampung, Festival Banyuwangi, dan banyak lagi. Namun data kemiskinan masih stagnan di kisaran 6,54 persen, urutan 6 terendah di Jawa Timur. Pengangguran dan ketimpangan desa kota tetap menganga. Infrastruktur dasar di pedalaman belum tersentuh optimal.
Banyuwangi menghadapi jebakan developmental populism (pembangunan yang tampak sibuk, tetapi minim dampak struktura). Retorika menggantikan perencanaan berbasis data. Belanja seremonial lebih menonjol dibanding investasi pada pendidikan, kesehatan, atau ketahanan pangan.
Sudah waktunya arah pembangunan dikoreksi. Yang paling penting, pemimpin ke depan harus keluar dari bayang-bayang dinasti politik dan memimpin dengan keberanian teknokratis.Banyuwangi tidak kekurangan kekayaan. Yang krisis adalah keberanian mengelola dengan benar.