banner 728x250
opini  

Kebebasan Berpendapat, Hak yang Harus “Dibimbing” oleh Kesadaran dan Tanggung Jawab

Kebebasan berpendapat adalah hak fundamental yang dijamin oleh konstitusi. Dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, disebutkan bahwa setiap warga negara berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum semakin menegaskan hak ini.

Namun, sudahkah kita benar-benar memahami bahwa kebebasan ini bukan tanpa batas?

Dalam berbagai kesempatan, misalnya ketika saya memberikan materi literasi, jurnalistik, dan pengenalan hukum kepada pelajar tingkat SMP, saya selalu memotivasi dan menekankan bahwa hak berbicara harus dibarengi dengan kesadaran akan tanggung jawab. Tidak hanya penting bagi mereka untuk percaya diri dalam menyuarakan pendapat, tetapi mereka juga harus memahami batasan yang mengiringinya.

Sementara dikalangan umum, faktanya masih ada orang-orang yang hanya melihat kebebasan berpendapat dari sisi haknya, tanpa memahami batasan yang ada. Padahal, Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap individu wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang. Pembatasan ini tidak dimaksudkan untuk membungkam suara rakyat, tetapi untuk menjaga keseimbangan antara hak individu dan kepentingan bersama.

Kita tidak bisa berbicara seenaknya tanpa memikirkan dampaknya. Ujaran kebencian, fitnah, penyebaran hoaks, serta penghinaan terhadap individu atau institusi bukan bagian dari kebebasan berpendapat, melainkan penyalahgunaan hak yang dapat berujung pada sanksi hukum.

Bahkan dalam dunia jurnalistik, wartawan harus tunduk pada kode etik yang mengatur prinsip keberimbangan, verifikasi, serta tanggung jawab dalam pemberitaan.

Di era digital, kebebasan berpendapat semakin luas dengan adanya media sosial. Setiap orang kini bisa menjadi “wartawan dadakan” yang menyebarkan informasi dalam hitungan detik. Namun, kebebasan ini sering disalahgunakan. Banyak orang berbicara tanpa berpikir panjang, menyebarkan informasi yang belum terverifikasi, atau bahkan melakukan perundungan daring.

Kasus pelanggaran Undang-Undang ITE akibat komentar atau unggahan yang tidak bertanggung jawab terus meningkat. Orang yang merasa bebas berbicara tanpa memikirkan etika dan hukum bisa saja terjerat pasal tentang pencemaran nama baik atau penyebaran berita bohong.

Berpendapat bukan hanya soal menyampaikan isi pikiran, tetapi juga soal bagaimana cara menyampaikannya. Kritik yang baik adalah kritik yang berbasis fakta, argumentatif, dan bertujuan membangun, bukan sekadar luapan emosi. Jika ingin menyampaikan kritik kepada pemerintah, institusi, atau individu, maka harus dilakukan dengan etika, analisis yang kuat, serta solusi yang konstruktif.

Sebagaimana pepatah mengatakan, “Mulutmu harimaumu.” Sebelum berbicara, pikirkan dahulu dampaknya. Sebelum mengetik, pertimbangkan akibatnya. Dan sebelum menyebarkan, pastikan kebenarannya. Kebebasan berpendapat bukanlah kebebasan untuk merusak atau memecah belah persatuan, melainkan kebebasan untuk membangun bangsa dengan pemikiran yang cerdas dan bertanggung jawab.

oleh : Joko Wiyono SH. – Komunitas Pemerhati Banyuwamgi (KPB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *