Oleh : Joko Wiyono
Kasus yang menimpa salah satu gerai/restoran mie ternama di Bali pada Juli 2025, yang terancam dikenai denda miliaran rupiah karena diduga melanggar hak cipta musik menjadi pelajaran penting bagi pelaku usaha. Kasus ini menunjukkan bahwa pemutaran musik di ruang publik khususnya ruang komersial bukan sekadar hiburan, melainkan menyangkut aspek legal berupa kewajiban pembayaran royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta lagu.
Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 30 Maret 2021. Regulasi ini mempertegas ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, terutama terkait dengan hak ekonomi pencipta lagu dan musik.
Hak cipta memberikan perlindungan hukum atas karya cipta di bidang seni, termasuk lagu dan musik. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU Hak Cipta, lagu diakui sebagai ciptaan yang dilindungi secara hukum, baik dalam bentuk teks maupun instrumen. Adapun masa perlindungan hak cipta berlaku seumur hidup pencipta ditambah 70 tahun setelah wafatnya pencipta terakhir (jika lebih dari satu orang).
Royalti didefinisikan dalam Pasal 1 angka 21 UU Hak Cipta sebagai imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi atas ciptaan yang diterima pencipta atau pemegang hak terkait. Pemanfaatan ini meliputi kegiatan seperti pengumuman, pertunjukan, hingga pendistribusian lagu atau musik secara komersial.
PP 56 Tahun 2021 mengatur bahwa setiap pihak yang menggunakan lagu/musik untuk kegiatan komersial wajib membayar royalti kepada pencipta atau pemegang hak. Bentuk penggunaan komersial meliputi, antara lain:
Restoran, kafe, pub, bar, dan diskotek
Hotel dan fasilitasnya
Pesawat, kapal, kereta, dan bus
Konser dan pertunjukan musik
Nada tunggu telepon
Lembaga penyiaran TV dan radio
Seminar dan konferensi komersial
Tempat karaoke, pusat perbelanjaan, serta pusat rekreasi
Dengan demikian, pemilik usaha yang memutar musik dalam tempat usahanya, secara hukum, wajib membayar royalti. Tanggung jawab ini tidak dibebankan pada pelanggan atau pengunjung.
Untuk menjamin pelaksanaan penarikan dan distribusi royalti secara adil dan akuntabel, pemerintah membentuk Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), sebagaimana diatur dalam Bab XII dan XIII UU Hak Cipta. LMKN bertugas untuk:
Menentukan pedoman tarif royalti
Menghimpun dan mendistribusikan royalti
Mendaftarkan ciptaan melalui Sistem Informasi Lagu dan/atau Musik (SILM)
Mengawasi operasional Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) sebagai pelaksana di lapangan
LMKN dan LMK menjadi perantara yang sah dalam penarikan royalti, sehingga pencipta tidak perlu menarik royalti secara langsung dari pengguna.
Selain kasus gerai makanan Mie di Bali tersebut, perkara serupa yang telah di putus Mahkamah Agung (MA) terkait hak rooyalti diantarannya adalah ;
Putusan MA No.122 PK/PDT.SUS-HKI/2015 menyatakan bahwa pemutaran lagu di ruang publik tanpa izin merupakan perbuatan melawan hukum (PMH). Dalam kasus tersebut, sebuah tempat karaoke diputus bersalah karena tidak membayar royalti meskipun menggunakan lagu-lagu dari repertoar LMK penggugat. Tergugat dihukum membayar ganti rugi sebesar Rp15,84 juta.
Dalam kasus lain, Putusan MA No. 913 K/Pdt.Sus-HKI/2022, sebuah stasiun TV swasta terbukti melanggar hak cipta karena menggandakan 145 lagu di platform YouTube tanpa lisensi digital. Meski telah menjalin kerja sama dengan LMK untuk siaran TV, lisensi itu tidak mencakup platform digital. Akibatnya, pihak stasiun TV dihukum membayar ganti rugi sebesar Rp50 juta.
Tarif royalti ditentukan berdasarkan ketentuan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016. Beberapa contoh tarif:
Konser musik: 2% dari total penjualan tiket + 1% dari tiket gratis
Hotel: Berdasarkan jumlah kamar
Pertokoan: Berdasarkan luas area
Sistem: Blanket License, yaitu pembayaran tarif tetap untuk memutar seluruh katalog musik selama satu tahun
Bagi pelaku usaha mikro, PP 56/2021 memberikan kelonggaran dalam bentuk tarif yang lebih ringan.
Meski sistem sudah diatur dengan cukup lengkap, pelaksanaan di lapangan masih menghadapi kendala, terutama dalam pendataan dan sosialisasi. Para pencipta lagu-lagu daerah, misalnya, sering kali belum memahami pentingnya mencatatkan karya mereka ke LMK untuk memperoleh royalti.
Untuk itu, perlu dilakukan edukasi dan sosialisasi masif kepada pelaku usaha dan para pencipta, agar hak-hak ekonomi mereka terlindungi dan tidak terjadi pelanggaran hukum yang merugikan semua pihak.