Oleh : Syafaat
Saya tidak sedang berbicara soal konser. Atau pergelaran akbar. Bukan pula soal kompetisi musik. Saya ingin bercerita tentang satu malam, satu desa, dan satu suara yang lebih kuat dari ceramah ribuan dai.
Malam itu bukan malam istimewa. Tak ada panggung. Tak ada baliho. Tak ada artis ibukota. Hanya sebuah rumah tua di kaki Gunung Ijen. Dindingnya kayu jati, lantainya tanah. Tapi dari sanalah suara langit turun pelan-pelan. Bukan lewat petir atau wahyu. Tapi lewat rebana dan suara serak-serak basah. Burdah. Saya seperti diseret waktu, dijauhkan dari kalender, dilempar ke zaman yang hanya mengenal syair dan cinta.
Di Indonesia, seni memang selalu tiba lebih dulu. Bahkan sebelum logika sempat berpikir, atau lidah sempat membantah. Ia mengetuk tanpa permisi, masuk lewat jendela hati, dan tiba-tiba sudah membuat kita menangis. Wayang kulit dulu dipakai para wali. Lagu religi berdendang di pasar malam. Lukisan, puisi, sinetron Ramadan—semua berbicara Tuhan dengan bahasa manusia. Tak ada yang menggurui. Hanya mengajak berjalan.
Itulah mengapa saya percaya, Burdah bukan hiburan. Ia bukan tontonan. Ia bukan pula pertunjukan. Ia adalah bentuk paling lirih dari dakwah yang masih tahu malu. Ia tidak memukul kita dengan ayat. Ia tidak memaksa kita beriman. Ia hanya duduk, memejam, lalu mengalun. Pelan. Tapi menusuk. Dan anehnya, terasa benar.
Saya datang malam itu ke Kemiren bukan karena undangan. Tapi karena penasaran. Kata orang akan ada Burdah. Saya kira semacam hadrah. Atau gandrung berselawat. Tapi begitu suara gembrung pertama dipukul, dan lantunan syair Barzanji memenuhi udara, saya tahu: ini bukan kesenian biasa. Ini bukan hiburan. Ini bukan nostalgia. Ini… doa yang bersuara.
Saya tidak tahu apakah para pemuda sekarang masih mengenalnya. Mereka mungkin lebih akrab dengan TikTok daripada Qasidah Burdah. Lebih nyaman dengan headphone daripada rebana. Dan saya tidak ingin menyalahkan. Teknologi memang rakus. Tapi yang salah bukan yang memilih gitar, melainkan kita yang lupa mewariskan rebana.
Burdah bukan barang lama yang harus disimpan di museum. Ia bukan fosil. Ia masih hidup. Tapi napasnya pendek. Nafas orang-orang tua. Yang belajar bukan dari partitur, tapi dari hafalan. Dari malam-malam di surau kecil. Dari bapak yang sudah lama tiada. Dari tabuhan yang menyimpan makna, bukan hanya irama.
Saya pernah mendengar seorang seniman Burdah berkata, “Burdah itu dakwah. Tapi bukan ceramah.” Kalimat itu terus terngiang. Dakwah tanpa pengeras suara. Tanpa baliho. Tanpa logistik. Tapi lebih mengena dari ribuan khutbah yang hanya terdengar, tapi tak terasa.
Alat musiknya sederhana. Rebana kecil-besar. Gendhung lanang dan gendhung wadon. Gembrung besar. Kluncing. Kadang ada gong kecil yang bunyinya seperti menghentikan waktu. Tapi bukan alat musik itu yang membuat saya terpana. Bukan pula iramanya. Tapi syairnya.
Syair Barzanji, Qasidah Burdah, karya Imam al-Bushiri. Teks Arab yang dilagukan dalam nada Osing. Bayangkan itu. Bahasa sufi Mesir, dinyanyikan dalam intonasi Banyuwangi. Dunia yang jauh dipertemukan oleh cinta kepada Nabi.
Saya menyaksikan seorang lelaki sepuh memejamkan mata saat melantunkan. Suaranya bergetar. Seperti menahan tangis. Ia tidak membaca. Ia tidak bernyanyi. Ia menyerahkan jiwanya pada syair. Dan malam itu, saya yakin, Nabi hadir. Tidak secara fisik. Tapi secara rasa.
Yang menyedihkan, generasi baru mulai melupakan. Mereka mendengar musik dari YouTube. Mereka tahu lirik dari layar, bukan dari hafalan. Mereka membuat irama lewat aplikasi. Dan kita tidak boleh menyalahkan. Tapi kita juga tak boleh diam.
Kalau tak ada yang melanjutkan, maka Burdah akan mati. Tapi saya percaya, ia tidak akan mati selama ada satu-dua anak muda yang bertanya kepada kakeknya tentang rebana. Selama masih ada guru seni yang menambahkan satu pertemuan untuk Barzanji. Selama masih ada orang yang menulis tentangnya, meskipun tulisan ini tak sehebat tabuhan gembrung.
Saya membayangkan suatu hari ada festival Burdah. Bukan lomba. Tapi reuni. Di pelataran masjid. Di bawah langit. Di antara bau dupa dan kopi pahit. Saya membayangkan pemuda kampung mengundang Burdah ke acara panen. Atau syukuran wisuda. Saya membayangkan gembrung dibuat kembali, dari kayu lokal, oleh pengrajin desa.
Saya membayangkan anak-anak SMA belajar Burdah. Bukan untuk menang lomba, tapi untuk mewarisi. Untuk mengerti bahwa tidak semua dakwah harus dengan mimbar. Tidak semua pujian harus dengan lirik pop. Tidak semua cinta harus dirayakan dengan pesta.
Seni-seni tradisi seperti Burdah sedang sekarat. Tapi bukan karena usia. Melainkan karena kita terlalu sibuk menyalakan lampu-lampu sorot, sementara suara-suara lama dibiarkan padam.
Di Banyuwangi, yang dikenal dengan Gandrung-nya, Burdah tumbuh di pojok-pojok desa. Tanpa panggung. Tanpa tepuk tangan. Hanya dengan iman dan ketekunan. Dan seperti cinta, ia tidak perlu teriak-teriak. Cukup pelan. Tapi terus.
Tulisan ini saya buat dalam satu malam. Suara rebana masih terngiang di kepala. Saya tidak tahu siapa lelaki tua malam itu. Tapi wajahnya tidak akan saya lupa. Mungkin karena ia bukan sedang tampil. Ia sedang menyampaikan pesan langit, dengan cara paling manusiawi yang bisa dilakukan manusia: dengan tabuhan, dengan suara, dengan cinta.
Dan semoga, suatu hari nanti, saya bisa duduk lagi di pelataran musholla, dengan kopi hitam, malam sunyi, bulan purnama, dan Burdah yang masih hidup. Masih bergetar. Masih memanggil nama Nabi dengan cara yang tak bisa dipalsukan algoritma.