Actanews.id – Kita semua pasti familiar atau tak asing dengan istilah “jahiliyah”, bahkan anak-anak pun mengenalnya. Ketika saya bertanya pada anak-anak saya, mereka langsung merespons dengan cepat, “zaman jahiliyah, Pa?”… Namun, apa makna sebenarnya dari istilah ini?
Banyak anggapan bahwa jahiliyah adalah masa sebelum datangnya Islam, ketika ketidaktahuan dan kebodohan banyak terjadi. Namun secara lebih mendalam, jahiliyah merujuk pada kondisi ketika manusia menolak petunjuk Ilahi, atau ketika kebenaran yang jelas dari Allah SWT diiabaikan.
Salah satu perilaku dari jahiliyah adalah kecenderungan untuk mengaitkan kebenaran dengan jumlah atau kuantitas yang besar. Sebuah kesalahan yang masih sering kita lihat saat ini: semakin banyak pengikut atau pendukung, seolah-olah semakin benar suatu pendapat dan tindakan.
Padahal, dalam Al-Quran, Allah SWT telah memperingatkan pada Surat Al-An’am: “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta terhadap Allah.” (QS. Al-An’am: 116). Mayoritas bukanlah indikator mutlak kebenaran!
Saya pikir prinsip ini relevan dalam konteks bermasyarakat dan saat memilih pemimpin, khususnya dalam pemilihan kepala daerah saat ini. Misalnya, ketika seorang calon pemimpin memperoleh dukungan besar dari berbagai pihak bahkan partai politik, banyak masyarakat yang cenderung mengikuti arus tanpa merenung lebih jauh. Mereka berasumsi bahwa banyaknya dukungan adalah tanda kelayakan. Tapi, apakah demikian seharusnya?
Tentu harusnya lebih jeli dan renungkan, bahwa ada kriteria memilih pemimpin menurut Islam yang harusnya dipedomani, misalnya pemimpin harus memiliki kualitas moral dan integritas yang jelas. Sifat-sifat seperti shidiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), serta kemampuan untuk mengayomi rakyat dan memiliki visi jangka panjang adalah esensi dari kepemimpinan yang baik. Perlu diingat juga, seorang pemimpin tidak hanya harus pandai mengelola urusan duniawi, tetapi juga bertanggung jawab secara moral kepada rakyatnya dan pasti dimintai pertanggung jawaban dihadapan Tuhannya.
Beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW., juga memberikan petunjuk, nasihat dan peringatan soal pemimpin?
QS.Al-Qur’an (Surah An-Nisa: 58): “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” Ayat ini menekankan pentingnya keadilan dan amanah dalam kepemimpinan.
Kedua, Hadits Nabi Muhammad SAW: “Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam (pemimpin) adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya…” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini menunjukkan bahwa setiap pemimpin memiliki tanggung jawab besar atas orang-orang yang dipimpinnya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Serta, Hadits Nabi Muhammad SAW: “Barangsiapa yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memberikan nasihat yang tulus kepada mereka, maka ia tidak akan mencium bau surga.” (HR. Bukhari). Hadits ini juga memperingatkan para pemimpin agar menjalankan tugasnya dengan tulus dan demi kebaikan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi.
Maka, ketika memilih pemimpin, sebaiknya tidak semata-mata terpikat oleh jumlah atau dukungan politik dan massa yang besar. Lebih penting lagi, kita harus menilai kualitas personal calon pemimpin tersebut. Terpenting, jangan ragu untuk meminta saran dari ulama atau tokoh yang memiliki pandangan mendalam terkait hal ini.
Selain itu, soal relevansi ajaran Islam dalam pemerintahan modern saat ini, apakah masih layak dijalankan?, Jika kita cermati, ajaran Islam dalam pelaksanaan pemerintahan justru sangat relevan dan mampu memberikan solusi nyata untuk tantangan-tantangan zaman ini, diantaranya dalam aspek kesejahteraan rakyat.
Contoh paling sederhana, dalam sistem ekonomi Islam, zakat menjadi salah satu instrumen sosial yang kuat untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan. Selain itu, wakaf dan amal sholeh turut memperkuat upaya pemerataan kesejahteraan dengan mendukung pembangunan fasilitas publik dan infrastruktur. Prinsip keadilan dan pemerataan ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya peduli pada spiritualitas, tetapi juga pada kesejahteraan sosial-ekonomi. Prinsip kebebasan, atau Al-Hurriyyah, juga ditekankan dalam Islam, di mana setiap individu memiliki hak untuk menyuarakan pendapatnya, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
Tentu semua hal tersebut diimplementasikan secara cermat dan relevan, sejalan dengan perkembangan zaman agar hasilnya tepat guna dan berdampak positif.
Apakah pemimpin kita sebelumnya, saat ini, atau calon pemimpin di masa depan, telah menjadikan prinsip-prinsip tersebut sebagai pedoman dalam menjalankan tugasnya? Mari coba renungkan, untuk menentukan pemimpin terbaik kita.
“Allahumma sholi‘ala Muhammad wa ‘ala ‘aalihi wa ashbihi ajma’iin. Ya Allah, karuniakan kepada kami ini, para pemimpin yang arif, yang bijak, yang benar-benar cinta dan hidup selalu dalam kebenaran serta benar-benar berjuang untuk membela kebenaran, Amiin”.
Oleh : Joko Tama, Banyuwangi, 18 September 2024