Oleh: Syafaat
Ketika dia pertama kali datang ke Banyuwangi, ia merasa seperti sedang diturunkan dari langit ke hutan yang tidak bernama. Di terminal Sri Tanjung Ketapang, dia berhenti. Dunia berhenti. Pandangannya pun ikut berhenti. Semua yang dia tahu tentang kota ini adalah sunyi panjang jalan, pepohonan, dan aroma tanah basah yang belum dijamah lampu malam.
Dia naik bus jurusan Tegaldlimo. Bus itu lambat, tua, dan seperti baru bangun dari tidur panjang. Jendela-jendelanya berkeringat. Jalanan yang dilalui meliuk seperti ular tua yang sedang merayap di antara akar-akar Baluran dan Grajagan. Dari balik kaca, ia menyaksikan pohon-pohon yang tidak pernah bisa ia beri nama, tumbuh di kedua sisi jalan, seolah menyimpan rahasia masa lalu yang tak pernah selesai.
Di benaknya, Banyuwangi adalah ujung, bukan lintasan. Ia membayangkan dunia berhenti di sana. Tempat tugasnya, Tegaldlimo, seperti titik kecil yang hanya bisa dijangkau dengan izin para pohon jati. Ia merasa dikirim ke tempat yang dipilih oleh sunyi dan dijaga oleh hutan.
Setiap kali hendak ke pusat kota, ia harus melalui hutan Curahjati yang panjang dan malas menjawab. Bayangannya tentang Tegaldlimo dan Banyuwangi kian gelap. Ia mengira semua orang di sana hidup dalam ritme sunyi, bicara pada angin, dan menanak hari dengan sabar.
Namun dunia memiliki caranya sendiri untuk mengejutkan manusia yang terlalu yakin. Suatu hari, mungkin karena bosan, atau mungkin karena hati kecilnya membisikkan, “Cobalah sedikit tersesat,” ia menyalakan motornya dan melaju tanpa rencana. Jalan yang ia ambil ternyata menuju Muncar. Jalur itu padat, ramai, hidup. Orang-orang lalu-lalang, truk kontainer mengangkut beban laut, pabrik-pabrik pengolahan ikan berdiri tanpa malu. Udara berbau asin, tapi hangat oleh kehidupan. Di sana, ia melihat pelabuhan penangkapan ikan terbesar di Banyuwangi. Dan ia terdiam.
“Ternyata ada dunia di sisi lain,” gumamnya. Bukan pada siapa-siapa, hanya pada dirinya sendiri.
Ia teruskan perjalanan dari Muncar ke Srono, lalu ke kota. Jalan-jalan itu, tidak seperti yang selama ini ia takuti. Tidak ada pohon-pohon gelap yang menutup langit, tidak ada kesunyian yang menetes dari langit-langit daun. Di situ, ia melihat pasar, sekolah, kantor, toko bahan bangunan, dan orang-orang yang membunyikan klakson seperti ingin mengucapkan selamat datang.
Saat itulah ia sadar: bukan Banyuwangi yang terpencil, melainkan pikirannya sendiri. Ia selama ini hidup dalam jalur yang dipilih oleh rasa takut. Jalur yang hanya bisa diterima oleh orang yang tak bertanya. Padahal Banyuwangi bukanlah satu jalan, melainkan percabangan ratusan rute yang masing-masing punya terang dan bunyinya sendiri. Ada jalur Pantura yang sunyi, ada hutan jati yang bersahabat dengan waktu, tapi juga ada jalur selatan yang ramai dan sibuk seperti kota-kota besar lain di Jawa. Dan ia tertawa pada dirinya sendiri. Tertawa kecil yang terdengar seperti permintaan maaf. Kepada siapa? Kepada jalan-jalan yang selama ini ia hindari. Kepada kota yang ia anggap terpencil. Kepada orang-orang yang ia kira tinggal di balik semak dan sunyi.
Ketika ia kembali ke kampung halamannya, ia bercerita. Tapi tidak dengan kata-kata yang biasa. Ia bercerita seperti orang yang baru pulang dari dalam dirinya sendiri. Ia bercerita tentang hutan, ya, tapi juga tentang pelabuhan. Tentang sunyi, tapi juga tentang hiruk-pikuk yang mengejutkan. Tentang jalur yang menanjak ke Curahjati, dan tentang jalan berkelok ke Muncar yang membuka matanya. IIa pernah menuduh Banyuwangi sebagai wilayah terpencil, padahal sebenarnya ia hanya belum menempuh cukup jauh. Ia belum tersesat ke arah yang benar.
Sekarang, jika ditanya bagaimana cara menuju Banyuwangi dari arah barat, ia tak lagi menyebut Pantura. Ia akan bicara tentang jalan Gumitir. Tentang kabut pagi yang turun seperti jubah. Tentang gunung dan langit yang bersekutu menciptakan rasa takjub. Tentang perjalanan yang tidak menakutkan, melainkan menyembuhkan.
Dan dari situ kita tahu: kadang-kadang, satu-satunya cara untuk melihat kota dengan jujur adalah menempuh jalan yang tidak biasa. Menyusuri sisi-sisi yang tak terduga. Menyapa tempat bukan dengan peta, tapi dengan rasa ingin tahu. Karena yang terpencil sebenarnya bukan kota itu. Yang terpencil adalah pikiran yang tak mau berjalan lebih jauh.
Setiap kota punya banyak jalan menuju dirinya. Tapi tidak semua orang memilih jalan yang sama. Sebagian besar orang akan memilih jalur yang lebih sering disebut dalam percakapan: Pantura atau Gumitir. Karena di sanalah peta terasa paling masuk akal.Tapi tidak semua perjalanan ingin masuk akal. Ada juga yang ingin masuk rasa.
Saya pernah bertemu seseorang yang memilih jalur tengah menuju Banyuwangi. Bukan karena dia punya keberanian lebih, melainkan karena kebetulan. Kadang hidup tidak memberi kita pilihan, hanya memberi kita jalan, lalu berkata: “Cobalah lewat sini.” Jalur tengah itu—melalui Gunung Ijen dan Bondowoso—bukan sekadar jalan, melainkan lintasan sabar. Jalan yang dipeluk jurang dan dipagut tikungan. Jalan yang kalau malam tak sekadar gelap, tapi seperti ditutup doa agar tak sembarang kendaraan lewat.
Di satu titik, orang-orang menyebutnya “Erek-erek.” Nama yang terdengar main-main, tapi tidak main-main menanjaknya. Jika mobilmu punya mesin yang tidak percaya diri, ia akan berhenti di tengah tanjakan, mengeluh, dan meminta waktu. Dan kalau kau memakai sepeda motor matic, barangkali kau sedang berdoa sambil mengendarai.
Karena turunan di sana seperti pertanyaan hidup yang terlalu curam: kau bisa menolak meluncur, tapi tak bisa menolak meluncur perlahan. Kau harus tahu kapan mengerem, kapan membiarkan motor ikut gravitasi. Jangan terlalu percaya pada rem. Mereka bisa lelah. Mereka bisa meleleh. Jalan ini, kata teman saya, seperti pasangan lama yang tidak bisa kau paksa berjalan cepat. Ia harus diajak bicara baik-baik.
Tapi seperti hidup juga, jika satu jalan membuatmu gemetar, ada jalan lain yang menawarkan tenang. Dan jalan itu adalah rel kereta api.
Kereta dari Banyuwangi menuju Jember tidak menawarkan kecepatan, tapi ketepatan. Ia tidak peduli pada kemacetan atau antrian truk di tanjakan. Ia melenggang dalam irama sendiri. Ia masuk ke perut gunung melalui terowongan peninggalan Belanda, terowongan yang panjangnya hampir satu kilometer, gelap dan dingin, seperti menembus masa lalu.
Di dalam terowongan itu, semua cahaya ditelan. Tapi begitu keluar, pemandangan yang dijanjikan tidak akan membuatmu menyesal: kebun kopi yang tertib, hutan yang bicara dengan angin, dan langit yang membuka tirai perlahan. Kalau kau naik kereta di siang hari, kau bisa melihat semuanya. Tapi kalau malam, ya sudah, gelap lagi. Tapi gelap yang tidak menakutkan. Gelap yang menerima.
Dan jalan ini, rel ini, punya aturan sendiri: kendaraan lain harus berhenti saat dia lewat. Kereta tidak menoleh. Ia tidak bisa berhenti mendadak hanya karena ada sepeda motor nekat di perlintasan. Rel adalah garis lurus yang memaksa semua orang menghormatinya. Dan mungkin itu sebabnya orang menyukainya, kereta tidak minta dimengerti, hanya minta diberi ruang.
Tapi Banyuwangi bukan hanya bisa dicapai dari barat. Dari timur, ia berbatasan langsung dengan laut. Selat Bali adalah gerbang air yang memisahkan dua dunia: Jawa dan Bali. Dan siapa pun yang ingin menuju Banyuwangi dari timur, harus menyeberang melalui pelabuhan Ketapang.
Jalur laut ini adalah jalur yang tenang, jika laut sedang ingin tenang. Tapi ketika ombak menggelar amarahnya, Ketapang berubah jadi halaman depan dari antrean tak berkesudahan. Truk, mobil, pejalan kaki, semuanya mengendap pelan menunggu giliran. Bukan karena kesalahan siapa-siapa. Laut tidak salah, hanya sedang tidak ingin dilalui.
Kadang orang-orang dari Jawa tengah atau barat, ingin ke Bali, harus menunggu di ujung pulau ini. Dan jika pelabuhan Ketapang terhambat, yang macet bukan hanya Banyuwangi, tapi juga punggung Jawa yang tak sabar menyeberang.
Di tengah-tengah semua itu, Banyuwangi berdiri seperti orang tua yang bijak. Ia menerima siapa pun yang datang dari mana pun: dari jalan curam di Gunung Ijen, dari lekuk Gumitir, dari keramaian Pantura, dari pelabuhan Ketapang, atau dari rel sunyi yang membelah hutan dan gunung.
Banyuwangi adalah tempat yang tidak keberatan dijangkau dengan pelan, karena ia tahu: keindahan tidak datang dari kecepatan.
Kau bisa datang dengan tergesa, tapi kota ini akan tetap lambat. Jalan-jalannya akan tetap melingkar. Tikungan-tikungannya akan tetap sabar.
Dan kau akan sadar, seperti teman saya itu, bahwa sesungguhnya kita tidak sedang menempuh jalan ke Banyuwangi. Kita sedang menempuh jalan menuju diri sendiri.
Ada masa-masa ketika Banyuwangi seperti ditarik dari dunia. Bukan karena ia marah. Bukan karena ia memilih mengasingkan diri. Tapi karena laut dan gunung sedang bersamaan bicara dengan bahasa yang tak mudah dimengerti manusia.
Beberapa hari lalu, sebuah perahu tenggelam di Selat Bali. Laut memeluknya dengan gelombang yang tinggi, seperti mengingatkan bahwa tak semua yang ringan boleh melintas seenaknya. Lalu pelabuhan Ketapang-Gilimanuk mengambil jeda. Bukan berhenti total, hanya menahan napas. Kapal-kapal yang tubuhnya dirasa lelah dan kurang layak, diminta istirahat. Hanya segelintir yang diizinkan membelah selat.
Dan di daratan, kendaraan-kendaraan menumpuk. Di barisan panjang yang makin panjang. Di jalanan yang awalnya hanya ingin dilewati dalam satu-dua jam, kini berubah menjadi tempat menginap. Ada truk-truk yang sopirnya sudah terbiasa tidur dalam kabin. Tapi tetap saja, tidur di bawah terik dan di sela deru mesin bukanlah tidur yang sungguh-sungguh.
Antrian kendaraan melilit dari Ketapang hingga ke batas-batas hutan Baluran. Bayangkan, satu jalan penuh truk, mobil pribadi, motor-motor yang bosan berdiri, dan orang-orang yang menggerutu dalam diam. Dan semua ini terjadi karena laut sedang tidak ingin terburu-buru.
Lalu orang-orang berkata, “Lewat selatan saja, lewat Gumitir.”
Tapi Gumitir pun tidak bersedia. Di sana, tanah mengalah. Tebing longsor. Jalan amblas. Lalu lintas disetop. Jalan ditutup total, hanya bisa dibuka untuk suara-suara mesin alat berat yang mencoba memperbaiki luka gunung. Jalur perkebunan dibuka sebagai alternatif. Tapi hanya untuk roda dua. Itu pun hanya sampai jam empat sore, karena setelah itu, gelap dan sunyi punya aturannya sendiri di ladang kopi dan pohon-pohon cengkeh.
Maka semua lalu lintas yang tadinya bisa memilih: lewat selatan, lewat tengah, atau lewat laut, kini bertumpuk di satu arah: jalur utara. Tapi jalur utara bukan ruang kosong. Ia sedang penuh. Ia sedang sesak. Dan jalan darat ke Banyuwangi nyaris seperti puzzle yang tak ada celah kosongnya.
Kini orang-orang menatap rel kereta. Satu-satunya jalur yang masih sabar dan bisa diandalkan. Tapi tidak semua barang bisa masuk ke perut kereta api.
Sayuran tidak bisa lama-lama menunggu. Ikan segar tidak bisa bertahan dengan sabar. Bensin tidak bisa menunggu antrean. Solar tidak bisa menunggu berita. Dan manusia tidak bisa hidup hanya dengan berharap.
Tanah Banyuwangi adalah tanahq yang subur. Ia bisa menumbuhkan hampir segalanya: padi, cabai, tomat, jagung, jeruk, buah naga, dan harapan. Tapi untuk bisa menjangkau keluar, hasil bumi ini butuh jalan. Butuh pelabuhan. Butuh keran distribusi. Tanpa itu, tanah yang subur hanya akan menjadi cerita yang tidak bisa disampaikan.
Pelabuhan Ketapang bukan hanya gerbang ke Bali. Ia adalah pusat nadi logistik. Di situlah minyak diturunkan, solar disalurkan, dan kota-kota di seberang diberi napas. Kini, dengan pelabuhan yang terseok, dengan jalur darat yang sempit, dan dengan jalur selatan yang terputus, Banyuwangi seperti seorang petani yang ingin bicara, tapi pita suaranya dirajam oleh kabut.
Lalu kita bertanya: bagaimana dua bulan ke depan ini? Dua bulan yang harus dijalani dengan separuh tubuh terpotong dari dunia. Dua bulan dengan jalan yang hanya bisa dilalui kereta api dan kesabaran. Dua bulan di mana truk-truk logistik harus menunggu di tengah langit yang panas dan malam yang lama.
Kita tahu, waktu adalah penyembuh. Tapi bagaimana jika waktu juga datang sambil membawa antrean panjang dan kabar-kabar tentang barang yang tertahan?
Sungguh, Banyuwangi sedang belajar menahan diri.
Ia tidak marah, hanya sedang diam. Dan diam, kadang-kadang, adalah cara paling jujur untuk mengatakan: “Aku sedang tidak bisa menyambutmu sekarang.”
Langit Banyuwangi kini tidak lagi sunyi. Pesawat-pesawat telah datang dan pergi seperti burung-burung besar yang sudah diajari waktu. Dari Jakarta ke Banyuwangi kini tak lebih dari dua jam, bahkan kadang tak sampai. Seolah-olah kita hanya memejam sebentar dan tahu-tahu sudah sampai di kaki Gunung Ijen, di antara kabut pagi dan bau tanah yang baru disiram hujan.
Dulu, untuk ke Banyuwangi, orang menghitung waktu dalam hari. Sekarang cukup dalam jam. Bahkan menit. Orang-orang yang biasa mendengar nama Banyuwangi dengan samar, kini mulai mengucapkannya dengan jelas. Karena bandara telah dibuka. Karena langit telah dijadikan pintu masuk. Tapi tidak semua bisa naik langit. Tidak semua bisa mengangkut rezeki dengan pesawat. Tidak ada petani buah naga yang mampu mengirim hasil panennya yang berton-ton ke Jakarta lewat udara. Tidak ada nelayan yang membawa ikan asin ke Cengkareng dengan harapan aroma asin itu bisa dikemas dalam kargo pesawat. Biayanya tidak masuk akal. Ikan asin tidak dibuat untuk kelas bisnis. Ia dibungkus koran bekas, naik truk, dan menunggu di antrean pelabuhan atau di tikungan Gumitir yang sabar. Saya tidak pernah melihat ekspedisi hasil laut dari Pelabuhan Muncar yang diberangkatkan lewat Bandara Blimbingsari. Mungkin karena langit terlalu mahal untuk hasil bumi. Terlalu bersih untuk sesuatu yang berbau tanah dan asin. Maka langit memang untuk manusia, bukan untuk barang. Dan itu membuat saya berpikir: bagaimana mungkin satu-satunya jalan yang tidak macet di Banyuwangi hanyalah langit?
Saya pernah bermimpi suatu hari akan ada jalan darat yang tak lagi harus bersahabat dengan tikungan maut dan lereng yang mudah longsor. Saya membayangkan terowongan. Jalan yang tidak memanjat gunung, tapi menembusnya. Jalan yang seperti yang dilakukan Belanda dahulu, terowongan kereta api di perut Gumitir yang sampai hari ini masih kokoh, diam, dan setia. Jalan yang tidak menunggu hujan untuk longsor atau matahari untuk kering. Tapi sepertinya mimpi itu terlalu mahal. Terowongan di Arab Saudi bisa menembus batu. Di sini, tanah lunak saja belum bisa. Di sini, mimpi masih harus antre seperti kendaraan di Ketapang saat kapal lambat berlayar. Di sini, impian dianggap proyek yang terlalu panjang untuk diingat pemerintah.
Kita sering iri pada negara yang bisa membelah gunung seperti memotong kue. Tapi kadang kita terlalu cepat menyerah pada gagasan bahwa gunung kita terlalu tinggi, bahwa biaya terlalu besar, bahwa tanah terlalu lembut, dan bahwa semuanya terlalu rumit untuk disederhanakan. Maka begitulah Banyuwangi hari ini. Kita masih harus sabar di tikungan. Masih harus mendengarkan berita longsor sebelum berangkat. Masih harus membawa doa sebanyak bensin dalam tangki. Masih harus berharap langit tidak mendung agar pesawat tak tertunda. Sementara itu, kita hidup di tanah yang begitu subur. Tanah yang bisa tumbuh apa saja, kecuali mungkin: kepastian. Tapi kita tetap berjalan. Kita tetap berangkat. Karena kita tahu, jalan bukan hanya soal aspal dan batu. Jalan adalah keinginan untuk sampai. Jalan adalah keyakinan bahwa rezeki selalu menemukan jalannya, meski melalui kabut, kerikil, bahkan bencana. Dan memang, rezeki tidak selalu datang dari orang yang sedang tertawa. Kadang ia datang dari orang yang sedang menangis. Dari kecelakaan, dari luka, dari musibah yang kita doakan tak terjadi, tapi tetap saja datang. Rezeki tidak selalu harum. Ia kadang datang dari tempat yang basah dan berbau tajam. Tapi tetap saja ia datang. Maka untuk sementara ini, kita nikmati saja yang ada. Kita hirup udara pagi yang masih gratis. Kita tatap langit biru yang tidak mengenal antrean. Kita pelihara sabar seperti kita merawat tanaman: perlahan, rutin, dan dengan keyakinan bahwa sesuatu pasti akan tumbuh dari tanah ini. Banyuwangi adalah rumah yang jalannya belum semuanya terbuka. Tapi selama masih ada yang ingin datang, dan selama kita masih ingin menyambut, rumah ini tak pernah benar-benar tertutup.