Actanews.id. Actanews.id – Dalam setiap Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), persaingan politik tidak hanya terbatas pada upaya memikat hati rakyat. Di balik layar, ada permainan pengaruh, modal, dan pendukung yang tak kalah penting. Ironisnya, fenomena “penghamba penguasa” (orang-orang yang mendukung calon kuat atau petahana demi kepentingan pribadi), terus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dinamika politik di negeri ini.
Fenomena ini bukan hal baru. Kandidat petahana, dengan segala akses terhadap sumber daya publik dan birokrasi, sering kali menjadi magnet bagi mereka yang ingin mendompleng kekuatan demi keuntungan pribadi.
Hal tersebut, dikuatkan dengan ungkapan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bahwa calon petahana memiliki risiko lebih besar terlibat dalam praktik korupsi. Mereka memanfaatkan jabatannya untuk memperkuat posisi politik, mengabaikan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang seharusnya diemban.
Bagi sebagian orang, mendukung petahana dianggap langkah pragmatis untuk menjamin stabilitas, atau lebih sinis lagi, demi proyek dan pundi-pundi pribadi. Praktik ini mencerminkan wajah kelam politik transaksional, dimana dukungan bukanlah soal visi perubahan lebih baik, melainkan akses kepada kekuasaan dan mendapatkan sumber daya.
Dalam perspektif agama, Rasulullah SAW telah mengingatkan akan bahaya kekuasaan yang disalahgunakan. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda, “Semakin bertambah kekuasaan seseorang, semakin bertambah pula jauhnya dari Allah. Semakin banyak pengikut seseorang, semakin banyak pula setan-setannya. Dan semakin banyak hartanya, semakin berat pula hisabnya.” Peringatan ini jelas menekankan bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus dijalankan dengan integritas dan kehati-hatian.
Namun, dalam realitas politik Pilkada, para pendukung yang seharusnya berperan sebagai pengingat bagi calon pemimpin justru sering kali menjadi “penghamba penguasa.” Mereka mendukung tanpa kritik, membenarkan setiap tindakan, bahkan yang salah sekalipun.
Pepatah “semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang menerpa” menggambarkan betapa besar godaan bagi mereka yang berada di puncak kekuasaan. Godaan ini semakin diperparah oleh kehadiran para “penghamba kekuasaan” yang hanya peduli pada keuntungan pribadi.
Dengan menerapkan praktik politik transaksional yang mengorbankan nilai-nilai demokrasi, hanya akan memperkuat budaya korupsi.
Pilkada bukan hanya soal siapa yang menang, tetapi juga soal masa depan daerah dan rakyat yang mereka pimpin. Pilkada seharusnya menjadi momentum perubahan, bukan ajang bagi para politisi dan pengikutnya untuk memperkaya diri.
Oleh : Joko Tama, Bwi, 27/9/2024